Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kapurung dan Politik di Tepi Teluk Kendari

31 Januari 2025   17:23 Diperbarui: 1 Februari 2025   09:36 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Januari 2024, suasana kampanye pilpres terasa hingga ke warung kapurung Bu Ros di tepi Teluk Kendari. Spanduk-spanduk kandidat berkibar di antara pohon kelapa, sementara pickup berlogo partai sesekali lewat membunyikan jingle kampanye. 

Mas Dab, yang datang mengunjungi mas Mun, justru asyik menikmati semangkuk kapurung - makanan khas Tolaki berupa sagu yang disiram kuah ikan dan sayuran. 

Kendari memang unik, apalagi ketemu teman lama. Beban kerja menjadi hilang ketika ngobrol dengan mas Mun.

"Ini resep asli dari mama saya," jelas Bu Ros dengan logat Kendari yang kental. "Ikannya harus segar, sayurnya harus lengkap - daun kelor, kangkung, terong - bumbunya harus pas." 

Kuah bening kekuningan dengan aroma sereh dan daun kemangi mengepul, menciptakan harmoni rasa yang membuat mas Dab lupa dengan teriknya Kendari.

Di meja sebelah, mas Mun berbincang dengan mas Waw, insinyur tambang yang baru pulang dari shift di Morosi. "Sekarang makin banyak pekerja dari China," cerita mas Waw sambil menyeruput kopi kenari, specialty coffee lokal yang mulai naik daun. 

"Tapi yang menarik, mereka juga mulai suka kapurung. Katanya mirip bubur dari kampung mereka."

Pisang goreng dengan sambal terasi khas Kendari menjadi teman ngopi sore itu. Sambil mencelupkan pisang ke sambal yang pedas menyengat, mas Waw bercerita tentang dinamika di kawasan tambang. 

"Di kantin kami sekarang ada menu fusion - kapurung dengan tambahan jamur shiitake, pisang goreng dengan saus szechuan. Lucu juga melihat perpaduan budayanya."

Bu Ros, yang mendengar percakapan mereka, menimpali dengan cerita bagaimana warungnya kini juga sering didatangi pekerja tambang dari berbagai daerah. "Ada yang dari Jawa, Sumatra, bahkan ada yang dari Korea. 

Tapi kapurung tetap kapurung, resepnya tidak saya ubah. Malah mereka yang belajar menyesuaikan lidah."

Sore menjelang, ketika cahaya matahari mulai lembut menyentuh teluk, rombongan kampanye lewat membagikan kaos dan stiker. Mas Dab memperhatikan bagaimana politik nasional berbaur dengan kehidupan lokal - poster calon presiden tertempel di dinding warung, tapi obrolan tetap berkisar pada rasa kapurung dan aroma kopi.

"Siapapun presidennya nanti, yang penting kapurung tetap enak," canda mas Mun. Bu Ros tertawa, menambahkan, "Yang penting ikan di teluk tetap banyak, Mas. 

Biar kapurung tetap bisa pakai ikan segar." Ada kekhawatiran terselip dalam candaannya - tentang keberlanjutan hasil laut di tengah pembangunan industri.

Mas Waw menambahkan perspektif dari dunia tambang. "Sebenarnya banyak pekerja tambang yang jadi pelanggan tetap warung-warung lokal. Mereka juga yang membantu ekonomi berputar." 

Dia bercerita bagaimana rekan-rekan China-nya kini bahkan bisa memesan kapurung dalam bahasa Tolaki yang terbata-tata.

Matahari terbenam di Teluk Kendari, menciptakan gradasi oranye yang memukau. Aroma kopi kenari yang baru digiling bercampur dengan wangi sambal terasi dan kuah kapurung, menciptakan potret sensori yang khas Kendari. 

Di tengah hiruk pikuk politik dan gegap gempita pembangunan, warung Bu Ros menjadi mikrokosmos di mana tradisi dan perubahan bertemu dalam semangkuk kapurung.

"Ini yang bikin saya betah di Kendari," tutup mas Mun. "Kota ini punya cara sendiri menjaga rasanya - dalam makanan, dalam keramahan orangnya, dalam kemampuannya menerima yang baru tanpa kehilangan yang lama." 

Mas Dab mengangguk setuju, menyendok kapurung terakhirnya sambil menikmati gemerisik angin teluk yang membawa aroma masa depan.

4 malam 5 hari memang tak terasa. Kenangan rasa khas kapurung dan kopi masih berbekas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun