Tapi kapurung tetap kapurung, resepnya tidak saya ubah. Malah mereka yang belajar menyesuaikan lidah."
Sore menjelang, ketika cahaya matahari mulai lembut menyentuh teluk, rombongan kampanye lewat membagikan kaos dan stiker. Mas Dab memperhatikan bagaimana politik nasional berbaur dengan kehidupan lokal - poster calon presiden tertempel di dinding warung, tapi obrolan tetap berkisar pada rasa kapurung dan aroma kopi.
"Siapapun presidennya nanti, yang penting kapurung tetap enak," canda mas Mun. Bu Ros tertawa, menambahkan, "Yang penting ikan di teluk tetap banyak, Mas.Â
Biar kapurung tetap bisa pakai ikan segar." Ada kekhawatiran terselip dalam candaannya - tentang keberlanjutan hasil laut di tengah pembangunan industri.
Mas Waw menambahkan perspektif dari dunia tambang. "Sebenarnya banyak pekerja tambang yang jadi pelanggan tetap warung-warung lokal. Mereka juga yang membantu ekonomi berputar."Â
Dia bercerita bagaimana rekan-rekan China-nya kini bahkan bisa memesan kapurung dalam bahasa Tolaki yang terbata-tata.
Matahari terbenam di Teluk Kendari, menciptakan gradasi oranye yang memukau. Aroma kopi kenari yang baru digiling bercampur dengan wangi sambal terasi dan kuah kapurung, menciptakan potret sensori yang khas Kendari.Â
Di tengah hiruk pikuk politik dan gegap gempita pembangunan, warung Bu Ros menjadi mikrokosmos di mana tradisi dan perubahan bertemu dalam semangkuk kapurung.
"Ini yang bikin saya betah di Kendari," tutup mas Mun. "Kota ini punya cara sendiri menjaga rasanya - dalam makanan, dalam keramahan orangnya, dalam kemampuannya menerima yang baru tanpa kehilangan yang lama."Â
Mas Dab mengangguk setuju, menyendok kapurung terakhirnya sambil menikmati gemerisik angin teluk yang membawa aroma masa depan.
4 malam 5 hari memang tak terasa. Kenangan rasa khas kapurung dan kopi masih berbekas.