Januari 2024, pesawat dari Makassar mendarat mulus di Bandara Haluoleo. Mas Dab disambut udara panas khas Sulawesi Tenggara, dan wajah familiar mas Mun, teman kuliahnya yang kini menjadi dosen di Universitas Haluoleo menyambutnya dengan sumringah.Â
"Selamat datang di kota nikel," sambut mas Mun dengan logat Jawa yang masih kental meski sudah sepuluh tahun menetap di Kendari.
Perjalanan dari bandara ke pusat kota memberikan gambaran pertama tentang Kendari. Kota ini tidak sebesar Makassar atau Manado, tapi ada geliat pembangunan yang tak bisa diabaikan.Â
Hotel-hotel baru bermunculan, mal-mal mulai berdiri, dan yang paling mencolok: dealer mobil-mobil berjajar di jalan utama.
"Efek nikel, mas," jelas Bang Anto, driver Gojek yang mengantarkan mas Dab ke Pantai Nambo keesokan harinya.Â
"Di Morowali sama Konawe memang lebih banyak tambangnya, tapi Kendari dapat limpahan ekonominya." Bang Anto bercerita bagaimana dia beralih dari ojek konvensional ke ojek online karena peningkatan penumpang, terutama pekerja tambang yang pulang-pergi dari Kendari.
Di sepanjang Teluk Kendari, mas Dab melihat deretan restoran seafood yang mulai buka. "Dulu nelayan cuma jual ke pasar tradisional," lanjut Bang Anto.Â
"Sekarang banyak eksekutif tambang yang makan di sini. Nelayan jadi punya pasar baru." Cerita Bang Anto menegaskan bagaimana industri ekstraktif mengubah dinamika ekonomi lokal.
Sore harinya, mas Mun mengajak ke Kawasan Mandonga, pusat kuliner Kendari. Di antara hidangan laut dan pisang epe, mereka membahas transformasi kota ini.Â
"Dulu mahasiswa dari luar Sulawesi jarang yang mau kuliah di sini," kata mas Mun. "Sekarang banyak yang tertarik, terutama jurusan tambang dan lingkungan."