Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih pada Januari 2025 telah menimbulkan pesimisme tentang perdamaian dan kerja sama global. Trump dipandang bakal membawa politik global ke ketidakpastian. Â
Kekawatiran itu khususnya dalam hubungan dinamis antara Amerika Serikat (AS) dan China atau Tiongkok. Siapa menyangka bahwa genderang perang dagang dengan China, walau Trump baru sehari dilantik menjadi orang nomor satu di Negeri Paman Sam.
Trump mengancam akan menerapkan tarif impor 10 persen atas produk China mulai 1 Februari 2025 mendatang.
Dalam studi Hubungan Internasional, fenomena ini dapat diibaratkan sebagai  "perangkap Thucydides." Konsep itu dikenalkan Graham Allison sebagai sebuah situasi ketika kekuatan yang sedang bangkit (China) menantang dominasi kekuatan yang sudah mapan (AS).
Peran Trump
Trump kembali menduduki tampuk kekuasaan ketika hubungan AS-Tiongkok berada pada titik kritis. Materi kampanye Trump yang keras soal Beijing disertai berbagai janji menerapkan kebijakan perdagangan yang lebih proteksionis telah berpotensi memperburuk ketegangan yang ada.Â
Hubungan kedua negara tambah rumit karena persaingan teknologi dan militer yang semakin intens di kawasan Indo-Pasifik. Soal Huawei dan Laut China Selatan (LCS) seolah saling terkait sebagai isu geopolitik antara AS dan China.
Di tengah meningkatnya ketegangan itu, Trump diyakini memiliki dua peran paradoks. Di satu sisi, presiden Trump bisa menjadi katalis yang mempercepat konfrontasi. Sebaliknya, Trump juga justru bisa memaksa kedua negara untuk menemukan keseimbangan baru.Â
Pendekatan "America First" yang lebih agresif dapat mendorong Tiongkok untuk mengambil sikap lebih asertif dalam membela kepentingannya. Kemungkinan kebijakan semacam itu dapat diambil China di wilayah yang dianggap sebagai sphere of influence-nya, seperti LCS dan Taiwan.
Meski begitu, peran Trump juga memiliki paradoksnya. Meningkatnya ketegangan dapat memaksa kedua negara untuk lebih berhati-hati.Â
Kesadaran akan konsekuensi fatal dari konflik langsung antara dua kekuatan nuklir terbesar itu bisa mendorong munculnya mekanisme manajemen krisis yang lebih efektif. Pengalaman dari periode pertama kepresidenan Trump menunjukkan bahwa di balik retorika keras, tetap ada ruang untuk negosiasi pragmatis.
Dampak
Dampak global dari dinamika ini sangat signifikan. Negara-negara di Asia Tenggara, yang selama ini berusaha menjaga keseimbangan antara AS dan Tiongkok, akan menghadapi tekanan yang lebih besar untuk memilih sisi.Â
Dua negara aliansi AS di Asia, yaitu Jepang dan Korea Selatan, kemungkinan akan memperkuat kapabilitas pertahanan mereka. Lalu, Australia berpotensi semakin mendekat ke AS sebagai penyeimbang pengaruh Tiongkok.
Eropa juga tidak luput dari dampak dinamika ini. Kebijakan Trump yang sering tidak dapat diprediksi diyakini bakal mendorong Uni Eropa untuk mengembangkan otonomi strategis yang lebih besar.Â
Belajar dari pemerintahan pertama Trump, Prancis dan Jerman berpotensi memiliki peluang mulai membangun kapasitas pertahanan independen. Tujuan utamanya adalah mengantisipasi berkurangnya reliabilitas payung keamanan AS.
Dalam ekonomi global, persaingan AS-Tiongkok di era Trump kedua dapat mempercepat proses decoupling ekonomi. Dalam konteks ini, rantai pasokan global mungkin akan semakin terfragmentasi menjadi blok-blok yang berafiliasi dengan AS atau Tiongkok. Akibatnya adalah terbentuknya arsitektur ekonomi global yang lebih regionalized.
Selain itu, kebijakan Trump yang membatasi akses Tiongkok ke teknologi AS bisa memperdalam pemisahan ekosistem teknologi global. Kenyataan itu menegaskan bahwa teknologi telah menjadi medan utama dalam rivalitas kedua negara.
Aspek penting selanjutnya adalah peran institusi multilateral. Skeptisisme Trump terhadap organisasi internasional, dikaitkan dengan upaya Tiongkok untuk membentuk institusi alternatif.
Akibatnya adalah kemungkinan pelemahan lebih lanjut dari sistem tata kelola global yang ada. Pembentukan BRICS menjadi salah satu contohnya. Kecenderungan ini berpotensi menciptakan dunia yang lebih multipolar dan kurang teratur.
Pertanyaan kuncinya adalah apakah dunia akan terjebak dalam "Perangkap Thucydides" atau bisa menemukan jalan keluar. Sejarah menunjukkan bahwa transisi kekuatan tidak selalu berakhir dengan konflik.Â
Namun, menghindari perangkap ini membutuhkan kepemimpinan yang bijak dan mekanisme manajemen krisis yang efektif dari kedua belah pihak.
Kembalinya Trump ke Gedung Putih bakal menambah kompleksitas dalam dinamika global, terutama dalam konteks hubungan AS-Tiongkok.Â
Meskipun risiko "perangkap Thucydides" meningkat, ruang-ruang dialog tetap ada melalui diplomasi yang hati-hati dan pengakuan akan kepentingan bersama.Â
Sementara itu, negara-negara lain perlu mempersiapkan strategi untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi, sambil tetap berusaha memainkan peran konstruktif dalam menjaga stabilitas global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H