Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

BRICS, ASEAN, dan Arsitektur Regional: Menimbang Pragmatisme Diplomasi Era Prabowo?

16 Januari 2025   11:28 Diperbarui: 16 Januari 2025   11:28 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQjDoqS5We6BNvXBNscbC7djpQI8_NO6zSy7w&usqp=CAU

Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (PPTM) 2025 yang disampaikan Menlu Sugiono menandai babak baru orientasi politik luar negeri Indonesia. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia menegaskan keinginannya untuk tidak sekadar menjadi jembatan antar-kekuatan dunia. 

Lebih jauh, Indonesia ingin berperan aktif dalam kepemimpinan global melalui apa yang disebut sebagai "keterlibatan pragmatis" (pragmatic engagement).

Meski begitu, di balik ambisi besar itu ada pertanyaan kritis tentang konsistensi dan efektivitas pendekatan ini, terutama dalam konteks hubungan Indonesia dengan ASEAN dan keputusannya bergabung dengan BRICS. 

Langkah Prabowo yang memilih melakukan kunjungan ke China dan beberapa negara lain dengan melewatkan negara-negara ASEAN, menimbulkan pertanyaan soal komitmen regionalnya.

Pragmatisme diplomasi Prabowo terlihat dari keputusan cepat bergabung dengan BRICS, sesuatu yang sempat ditunda di era sebelumnya. Proses aksesi yang hanya memakan waktu 2,5 bulan sejak pendaftaran resmi pada KTT BRICS di Kazan, Oktober 2024, mencerminkan urgensi Indonesia untuk memanfaatkan momentum geopolitik. 

BRICS, dengan 45% populasi dunia dan 35% PDB global, memang menawarkan potensi pasar dan pengaruh yang signifikan. Keterlibatan pragmatis di BRICS juga menguatkan doktrin bebas dan aktif kebijakan luar negeri Indonesia yang selama ini lebih ke sisi Barat dipimpin Amerika Serikat (AS).

Pertanyaannya adalah apakah pragmatisme semacam ini sustainable dalam jangka panjang? Pandangan pesimis menunjukkan bahwa organisasi internasional bisa saja tidak bertahan lama. 

Hingga saat ini, BRICS masih menyimpan persoalan internal, mulai dari perbedaan sikap antara Rusia dan India soal dedolarisasi hingga absennya sistem tata kelola yang ketat.

Dilema strategis

Meski Menlu Sugiono menegaskan bahwa Indonesia tidak akan meminggirkan ASEAN, realitas menunjukkan adanya potensi dilema strategis. Soal ASEAN, PPTM 2025 mendapat kritik dari CSIS Jakarta karena pendeknya pernyataan mengenai komitmen Indonesia terhadap organisasi regional itu.

Selama ini, ASEAN, dengan prinsip sentralitasnya, telah menjadi fondasi diplomasi Indonesia selama lebih dari lima dekade. Menggeser prioritas terlalu jauh ke arah BRICS atau forum multilateral lain dapat berisiko mengikis kredibilitas Indonesia di mata tetangga regionalnya.

Namun, argumentasi bahwa Indonesia harus memilih antara ASEAN atau BRICS adalah false dichotomy yang perlu dihindari. Keanggotaan di BRICS diyakini tidak membuat Indonesia mengalihkan komunitas regionalnya di Asia Tenggara melalui ASEAN.

Sejarah diplomasi Indonesia telah membuktikan kemampuannya untuk memainkan peran konstruktif di berbagai forum secara simultan. 

Dari Konferensi Asia Afrika 1955 hingga inisiator ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) 2019, Indonesia telah membuktikan kapasitasnya sebagai bridge builder tanpa harus mengorbankan satu kepentingan demi kepentingan lain.

Yang diperlukan adalah artikulasi yang lebih jelas tentang bagaimana berbagai keterlibatan ini saling melengkapi. Sugiono menyebutkan bahwa Indonesia tetap aktif di berbagai forum multilateral seperti G20, APEC, IPEF, MIKTA, dan CPTPP.

Selain itu, Indonesia juga sedang dalam proses aksesi OECD pada saat ini. Diversifikasi platform diplomasi ini bisa menjadi aset strategis, asalkan ada grand design yang koheren.

Modalitas

Indonesia memiliki modalitas kuat untuk peran yang lebih besar. Pengalaman nation building, termasuk resolusi konflik internal dan regional, dan track record sebagai democracy builder, telah memberikan kredibilitas bagi Indonesia untuk memainkan peran konstruktif dalam arsitektur regional yang lebih luas.

Namun demikian, ambisi diplomatik harus diimbangi dengan pengerahan sumber daya yang maksimal. Ini mencakup tidak hanya kapasitas diplomatik, tetapi juga kekuatan ekonomi dan soft power. 

Upaya strategis Indonesia menggunakan nikel dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik sebagai leverage global, misalnya, belum menunjukkan hasil signifikan dibandingkan bagaimana India, Rusia, atau Brasil memanfaatkan komoditas strategis mereka.

Yang menarik, Indonesia berada dalam posisi unik untuk menjembatani berbagai standar dan praktik tata kelola. Pengalaman dalam proses aksesi OECD, dengan standar good governance-nya yang ketat, bisa menjadi modal untuk mendorong peningkatan kualitas tata kelola di BRICS. 

Upaya ini sejalan dengan visi Indonesia untuk reformasi sistem internasional yang lebih inklusif namun tetap akuntabel. Pragmatisme diplomasi era Prabowo, dengan demikian, tidak harus berarti oportunisme jangka pendek. 

Tantangannya adalah mengubah multiple engagement ini menjadi strategi koheren yang memperkuat, bukan melemahkan, posisi Indonesia di berbagai arena. ASEAN tetap relevan sebagai immediate neighborhood landasan diplomasi regional. 

Sedangkan  BRICS dan forum multilateral lain bisa berperan menjadi platform untuk memperjuangkan kepentingan yang lebih luas.

Yang diperlukan adalah diplomasi smart power yang mengkombinasikan pragmatisme dengan prinsip, fleksibilitas dengan konsistensi. Indonesia perlu menunjukkan bahwa "keterlibatan pragmatis" tidak berarti mengabaikan komitmen lama

Sebalikknya, multiple engagement Indonesia dapat memperkaya toolbox diplomasi untuk mencapai kepentingan nasional dalam lanskap global yang semakin kompleks.

Dalam konteks ini, kritik terhadap absennya elaborasi detail strategi dalam PPTM 2025 perlu direspons dengan penyusunan roadmap yang lebih konkret. 

Visi Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam kepemimpinan global harus diterjemahkan ke dalam milestone dan deliverable yang terukur, dengan tetap mempertimbangkan sensitivitas regional dan keterbatasan kapasitas nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun