Selama ini, ASEAN, dengan prinsip sentralitasnya, telah menjadi fondasi diplomasi Indonesia selama lebih dari lima dekade. Menggeser prioritas terlalu jauh ke arah BRICS atau forum multilateral lain dapat berisiko mengikis kredibilitas Indonesia di mata tetangga regionalnya.
Namun, argumentasi bahwa Indonesia harus memilih antara ASEAN atau BRICS adalah false dichotomy yang perlu dihindari. Keanggotaan di BRICS diyakini tidak membuat Indonesia mengalihkan komunitas regionalnya di Asia Tenggara melalui ASEAN.
Sejarah diplomasi Indonesia telah membuktikan kemampuannya untuk memainkan peran konstruktif di berbagai forum secara simultan.Â
Dari Konferensi Asia Afrika 1955 hingga inisiator ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) 2019, Indonesia telah membuktikan kapasitasnya sebagai bridge builder tanpa harus mengorbankan satu kepentingan demi kepentingan lain.
Yang diperlukan adalah artikulasi yang lebih jelas tentang bagaimana berbagai keterlibatan ini saling melengkapi. Sugiono menyebutkan bahwa Indonesia tetap aktif di berbagai forum multilateral seperti G20, APEC, IPEF, MIKTA, dan CPTPP.
Selain itu, Indonesia juga sedang dalam proses aksesi OECD pada saat ini. Diversifikasi platform diplomasi ini bisa menjadi aset strategis, asalkan ada grand design yang koheren.
Modalitas
Indonesia memiliki modalitas kuat untuk peran yang lebih besar. Pengalaman nation building, termasuk resolusi konflik internal dan regional, dan track record sebagai democracy builder, telah memberikan kredibilitas bagi Indonesia untuk memainkan peran konstruktif dalam arsitektur regional yang lebih luas.
Namun demikian, ambisi diplomatik harus diimbangi dengan pengerahan sumber daya yang maksimal. Ini mencakup tidak hanya kapasitas diplomatik, tetapi juga kekuatan ekonomi dan soft power.Â
Upaya strategis Indonesia menggunakan nikel dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik sebagai leverage global, misalnya, belum menunjukkan hasil signifikan dibandingkan bagaimana India, Rusia, atau Brasil memanfaatkan komoditas strategis mereka.
Yang menarik, Indonesia berada dalam posisi unik untuk menjembatani berbagai standar dan praktik tata kelola. Pengalaman dalam proses aksesi OECD, dengan standar good governance-nya yang ketat, bisa menjadi modal untuk mendorong peningkatan kualitas tata kelola di BRICS.Â