Keanggotaan Indonesia dalam BRICS membawa dinamika baru bagi diplomasi pemerintahan Prabowo di awal 2025 ini. Sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, Indonesia memiliki posisi strategis yang unik.
Keputusan untuk bergabung dengan BRICS mencerminkan ambisi Indonesia untuk memperluas pengaruhnya dalam diplomasi global, terutama di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik antara blok-blok besar dunia.
Bagi Indonesia, BRICS menawarkan peluang signifikan untuk memperkuat ekonomi dan diplomasi. Dengan potensi investasi dari New Development Bank (NDB), Indonesia dapat mempercepat pembangunan infrastruktur, yang sejalan dengan prioritas nasional.
Selain itu, forum BRICS tak dapat disangkal bakal menyediakan ruang bagi Indonesia untuk mendorong reformasi lembaga internasional agar lebih inklusif terhadap kebutuhan negara berkembang.
Langkah ini tentu saja memerlukan kesiapan domestik dan strategi diplomasi yang cermat. Indonesia harus mampu menjembatani perbedaan kepentingan di antara anggota-anggota BRICS. Di saat sama, Indonesia juga perlu memastikan bahwa kebijakan luar negerinya bergabung dengan BRICS tetap sejalan dengan prinsip bebas aktif.
Lahirnya BRICS
BRICS adalah akronim yang merepresentasikan Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Konsep itu telah menjadi simbol kekuatan ekonomi global baru sejak kelahirannya pada awal abad ke-21.
Dari sebuah konsep akademik menjadi platform kerja sama strategis, BRICS menggambarkan transformasi peran negara-negara berkembang dalam tatanan internasional. Dengan Indonesia baru-baru ini menjadi anggota penuh, relevansi dan potensi organisasi ini menjadi semakin signifikan.
Pada 2001, ekonom Jim O’Neill dari Goldman Sachs pertama kali mencetuskan istilah “BRIC” dalam laporan yang memprediksi dominasi empat negara berkembang (Brazil, Rusia, India, dan China) dalam ekonomi global pada pertengahan abad ke-21. Konsep ini didasarkan pada potensi ekonomi, populasi besar, dan sumber daya alam yang melimpah, yang memungkinkan mereka memainkan peran kunci dalam tatanan global baru.
Namun, seiring waktu, BRIC melampaui sekadar konsep ekonomi. Pada 2009, negara-negara tersebut mengadakan pertemuan pertama mereka di Rusia, yang menandai pembentukan kelompok ini sebagai entitas geopolitik.
Afrika Selatan bergabung pada 2010, menjadikan BRICS sebagai representasi yang lebih inklusif dari negara-negara berkembang di berbagai benua.
BRICS bukan hanya forum diskusi, tetapi juga platform aksi nyata. Organisasi ini telah mendirikan institusi seperti New Development Bank (NDB) dan Contingent Reserve Arrangement (CRA) untuk menyediakan pembiayaan pembangunan dan mekanisme dukungan keuangan bagi negara anggotanya.
Dengan fokus pada isu-isu seperti pembangunan berkelanjutan, reformasi tata kelola global, dan penguatan kedaulatan ekonomi, BRICS menjadi alternatif dari dominasi Barat dalam lembaga internasional, seperti IMF dan Bank Dunia.
Namun, perjalanan BRICS bukan tanpa tantangan. Perbedaan ideologi politik, skala ekonomi yang beragam, dan dinamika regional menjadi hambatan dalam mencapai keselarasan visi.
Meski begitu, keberhasilan kelompok ini dalam mempertahankan relevansinya menunjukkan bahwa negara-negara anggotanya memiliki kepentingan strategis yang sama, terutama dalam menghadapi tantangan global yang kompleks.
Keanggotaan Indonesia
Kehadiran Indonesia memberikan nilai tambah yang signifikan bagi BRICS. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan lokasi geografis strategis di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia memperkuat legitimasi BRICS sebagai representasi dari negara-negara berkembang.
Selain itu, Indonesia dapat berkontribusi dalam kerja sama teknologi dan inovasi di dalam BRICS. Indonesia juga dapat menjadi penghubung antara BRICS dan ASEAN, yang mencakup beberapa negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
Dengan demikian, Indonesia berpotensi memainkan peran kunci dalam memperluas jaringan diplomasi dan kerja sama BRICS ke wilayah Asia Tenggara. Melalui BRICS, diplomasi Indonesia menjadi semakin seimbang dalam mewujudkan doktrin politik luar negeri bebas dan aktif.
Tantangan
Meskipun BRICS menawarkan peluang-peluang baru bagi diplomasi Indonesia, tantangan tetap ada. Perbedaan prioritas nasional di antara anggota sering kali mempersulit konsolidasi kebijakan.
Selain itu, tekanan dari negara-negara Barat, yang melihat BRICS sebagai ancaman terhadap dominasi mereka, dapat menciptakan hambatan politik. Pernyataan keras Presiden terpilih AS, Donald Trump, juga memerlukan kajian mendalam mengenai potensi konsekuensi BRICS terhadap hubungan bilateral antara Indonesia dan AS.
Meski begitu, keanggotaan Indonesia berpotensi meningkatkan kohesi internal BRICS. Sebagai negara dengan tradisi diplomasi konsensus, Indonesia dapat membantu meredakan ketegangan antar anggota dan memperkuat visi bersama BRICS.
Hingga awal 2025, BRICS telah berkembang dari sekadar sebuah ide menjadi platform kerja sama yang memiliki dampak nyata dalam geopolitik dan ekonomi global. Dengan bergabungnya Indonesia, kelompok ini menjadi lebih inklusif dan relevan. Bagi Indonesia, keanggotaan di BRICS adalah langkah strategis untuk memperkuat posisinya di panggung dunia.
Keberhasilan Indonesia dalam BRICS tidak hanya akan menguntungkan negara ini, tetapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa negara-negara berkembang dapat memainkan peran utama dalam membentuk masa depan global. BRICS dapat menjadi motor penggerak tatanan dunia yang lebih adil dan inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H