Afrika Selatan bergabung pada 2010, menjadikan BRICS sebagai representasi yang lebih inklusif dari negara-negara berkembang di berbagai benua.
BRICS bukan hanya forum diskusi, tetapi juga platform aksi nyata. Organisasi ini telah mendirikan institusi seperti New Development Bank (NDB) dan Contingent Reserve Arrangement (CRA) untuk menyediakan pembiayaan pembangunan dan mekanisme dukungan keuangan bagi negara anggotanya.Â
Dengan fokus pada isu-isu seperti pembangunan berkelanjutan, reformasi tata kelola global, dan penguatan kedaulatan ekonomi, BRICS menjadi alternatif dari dominasi Barat dalam lembaga internasional, seperti IMF dan Bank Dunia.
Namun, perjalanan BRICS bukan tanpa tantangan. Perbedaan ideologi politik, skala ekonomi yang beragam, dan dinamika regional menjadi hambatan dalam mencapai keselarasan visi.Â
Meski begitu, keberhasilan kelompok ini dalam mempertahankan relevansinya menunjukkan bahwa negara-negara anggotanya memiliki kepentingan strategis yang sama, terutama dalam menghadapi tantangan global yang kompleks.
Keanggotaan IndonesiaÂ
Kehadiran Indonesia memberikan nilai tambah yang signifikan bagi BRICS. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan lokasi geografis strategis di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia memperkuat legitimasi BRICS sebagai representasi dari negara-negara berkembang.Â
Selain itu, Indonesia dapat berkontribusi dalam kerja sama teknologi dan inovasi di dalam BRICS. Indonesia juga dapat menjadi penghubung antara BRICS dan ASEAN, yang mencakup beberapa negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.Â
Dengan demikian, Indonesia berpotensi memainkan peran kunci dalam memperluas jaringan diplomasi dan kerja sama BRICS ke wilayah Asia Tenggara. Melalui BRICS, diplomasi Indonesia menjadi semakin seimbang dalam mewujudkan doktrin politik luar negeri bebas dan aktif.Â
TantanganÂ
Meskipun BRICS menawarkan peluang-peluang baru bagi diplomasi Indonesia, tantangan tetap ada. Perbedaan prioritas nasional di antara anggota sering kali mempersulit konsolidasi kebijakan.Â