Malam tahun baru 2025, Yogyakarta berdetak lebih kencang dari biasanya. Mas Dab memarkirkan motor bebek C75 warba merahnya di parkiran Stasiun Tugu sejak sore.Â
Dia tahu bahwa memasuki kawasan nol kilometer dengan kendaraan di malam pergantian tahun sama dengan mencari perkara. Tugu Yogyakarta berdiri anggun, menjadi saksi bisu ribuan manusia yang mulai memadati jalanan.
Dari Tugu, dia berjalan kaki menyusuri Malioboro yang telah disulap menjadi ruang pejalan kaki. Lampu-lampu hias berkilauan, berbaur dengan cahaya dari etalase toko-toko yang masih buka.Â
Aroma angkringan dan gudeg bercampur dengan wangi kembang api yang sesekali meletup tak sabar, seolah tak mau menunggu tengah malam.
"Mas, pesen sate klatak?" tanya Bu Sri, penjual sate legendaris di ujung gang dekat Pasar Beringharjo. Mas Dab mengangguk, memilih tempat duduk di antara wisatawan yang berburu kuliner malam.Â
Sate kambing dengan bumbu garam dan klathak besi panas itu memang jadi incaran banyak orang, apalagi di malam spesial seperti ini.
Sembari menikmati sate, dia mengamati parade humanity yang lewat. Ada rombongan anak muda dengan kostum superhero, keluarga dengan anak-anak yang mengenakan bando 2025 berkelap-kelip, hingga pasangan lansia yang bergandengan tangan menyusuri trotoar dengan tenang. Yogya selalu punya cara untuk mempertemukan yang lawas dan yang baru.
Pukul 10 malam, arus manusia semakin deras mengalir ke arah Titik Nol. Mas Dab ikut terseret, melewati deretan pertokoan yang kini lebih mirip galeri street art dengan mural-mural kontemporer.Â
Di dekat bekas Hotel Toegoe, sekelompok seniman jalanan memainkan angklung dengan aransemen lagu-lagu pop, menciptakan soundscape yang unik.
"Tambah rame yo, Mas," komentar pak Karyo, tukang becak langganannya yang sedang parkir di pinggir jalan. "Tahun-tahun sebelumme durung tau seheboh iki." Mas Dab mengangguk setuju.Â
Memang, pasca pandemi, setiap perayaan tahun baru seolah menjadi momentum untuk merayakan kebebasan berkumpul yang sempat terampas.
Mendekati tengah malam, kawasan Titik Nol semakin sesak. Di depan Gedung BNI, panggung hiburan rakyat menggemakan dangdut koplo yang membuat beberapa pengunjung bergoyang spontan.Â
Sementara di sisi lain, komunitas fotografi berbagi spot untuk mengabadikan light trail dari kendaraan yang masih nekat melintas.
Mas Dab memilih mengamankan posisi di dekat Monumen Serangan Umum 1 Maret. Dari sini, dia bisa melihat kerumunan manusia yang memenuhi persimpangan sembari menikmati secangkir kopi jos dari angkringan terdekat. Hawa dingin malam terasa hangat oleh semangat kebersamaan.
Lima menit menjelang tengah malam, orang-orang mulai menghitung mundur dengan ponsel teracung ke langit. Beberapa wisatawan asing ikut larut dalam euforia, belajar mengucapkan "tiga... dua... satu..." dalam bahasa Indonesia dengan logat yang menggemaskan.
Tepat pukul 12, langit Yogya meledak dalam semburat warna. Kembang api menari di atas Gedung Bank Indonesia yang klasik, menciptakan bayangan dramatis di fasad bangunan kolonial. Teriakan "Selamat Tahun Baru!" bersahutan dengan klakson kendaraan dan tepuk tangan meriah.
Di tengah hiruk pikuk itu, mas Dab menangkap pemandangan menarik: sepasang pengantin dalam balutan kebaya dan beskap Jawa sedang berfoto di Titik Nol, menggunakan kembang api sebagai latar. Perpaduan tradisi dan modernitas yang begitu nJokja.
Menjelang jam satu pagi, dia memutuskan untuk menerobos keramaian menuju Malioboro, mencari angkringan pak Pur yang terkenal dengan nasi kucing dan wedang rondenyar. Di sepanjang jalan, pedagang masih sibuk melayani pembeli. Yogya memang tidak pernah benar-benar tidur, apalagi di malam seperti ini.
Sambil menyeruput wedang ronde yang mengepul, mas Dab merenungkan tahun yang telah lewat. Ada sesuatu yang magis tentang merayakan tahun baru di kota ini - mungkin karena Yogya selalu berhasil mengemas tradisi dan kemajuan dalam harmoni yang pas, seperti wedang ronde pak Pur yang tetap otentik meski disajikan dalam gelas plastik modern.
Dini hari, saat berjalan kembali ke parkiran Stasiun Tugu, jalanan masih ramai oleh mereka yang tak ingin malam berakhir. Tugu Yogyakarta masih berdiri tegak, kali ini ditemani confetti yang bertebaran dan sisa-sisa kegembiraan yang masih mengudara.Â
Tahun baru di Yogyakarta memang selalu istimewa. Sebuah perayaan kultural massal yang tidak hanya tentang pergantian angka, tapi juga tentang bagaimana sebuah kota dan warganya merayakan kebersamaan dalam keberagaman.
Selamat Tahun Baru 2025.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H