Memang, pasca pandemi, setiap perayaan tahun baru seolah menjadi momentum untuk merayakan kebebasan berkumpul yang sempat terampas.
Mendekati tengah malam, kawasan Titik Nol semakin sesak. Di depan Gedung BNI, panggung hiburan rakyat menggemakan dangdut koplo yang membuat beberapa pengunjung bergoyang spontan.Â
Sementara di sisi lain, komunitas fotografi berbagi spot untuk mengabadikan light trail dari kendaraan yang masih nekat melintas.
Mas Dab memilih mengamankan posisi di dekat Monumen Serangan Umum 1 Maret. Dari sini, dia bisa melihat kerumunan manusia yang memenuhi persimpangan sembari menikmati secangkir kopi jos dari angkringan terdekat. Hawa dingin malam terasa hangat oleh semangat kebersamaan.
Lima menit menjelang tengah malam, orang-orang mulai menghitung mundur dengan ponsel teracung ke langit. Beberapa wisatawan asing ikut larut dalam euforia, belajar mengucapkan "tiga... dua... satu..." dalam bahasa Indonesia dengan logat yang menggemaskan.
Tepat pukul 12, langit Yogya meledak dalam semburat warna. Kembang api menari di atas Gedung Bank Indonesia yang klasik, menciptakan bayangan dramatis di fasad bangunan kolonial. Teriakan "Selamat Tahun Baru!" bersahutan dengan klakson kendaraan dan tepuk tangan meriah.
Di tengah hiruk pikuk itu, mas Dab menangkap pemandangan menarik: sepasang pengantin dalam balutan kebaya dan beskap Jawa sedang berfoto di Titik Nol, menggunakan kembang api sebagai latar. Perpaduan tradisi dan modernitas yang begitu nJokja.
Menjelang jam satu pagi, dia memutuskan untuk menerobos keramaian menuju Malioboro, mencari angkringan pak Pur yang terkenal dengan nasi kucing dan wedang rondenyar. Di sepanjang jalan, pedagang masih sibuk melayani pembeli. Yogya memang tidak pernah benar-benar tidur, apalagi di malam seperti ini.
Sambil menyeruput wedang ronde yang mengepul, mas Dab merenungkan tahun yang telah lewat. Ada sesuatu yang magis tentang merayakan tahun baru di kota ini - mungkin karena Yogya selalu berhasil mengemas tradisi dan kemajuan dalam harmoni yang pas, seperti wedang ronde pak Pur yang tetap otentik meski disajikan dalam gelas plastik modern.
Dini hari, saat berjalan kembali ke parkiran Stasiun Tugu, jalanan masih ramai oleh mereka yang tak ingin malam berakhir. Tugu Yogyakarta masih berdiri tegak, kali ini ditemani confetti yang bertebaran dan sisa-sisa kegembiraan yang masih mengudara.Â
Tahun baru di Yogyakarta memang selalu istimewa. Sebuah perayaan kultural massal yang tidak hanya tentang pergantian angka, tapi juga tentang bagaimana sebuah kota dan warganya merayakan kebersamaan dalam keberagaman.