Memasuki bulan kedua kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan pergeseran signifikan dalam lanskap politik luar negeri Indonesia.Â
Berbeda dengan pendahulunya yang lebih mengedepankan pendekatan low-profile, Prabowo hadir dengan gaya diplomasi yang lebih asertif dan personal, yang oleh kalangan pengamat, dijuluki sebagai kebijakan "bebas dan hiper-aktif".
Aktivisme diplomatik Prabowo terlihat jelas dari intensitas kunjungan luar negerinya yang sangat tinggi. Dalam tempo kurang dari dua bulan pasca pelantikan 20 Oktober 2024, ia telah melakukan rangkaian kunjungan ke berbagai negara strategis dari China, Amerika Serikat, hingga negara-negara Eropa dan Timur Tengah.Â
Sebelumnya, pasca kemenangannya dalam pemilu Februari 2024, Prabowo bahkan telah menuntaskan kunjungan ke seluruh negara ASEAN. Aktivisme diplomasi itu menunjukkan keseriusan Prabowo dalam membangun posisi internasional Indonesia.
Ujian diplomasi
Namun, di balik aktivisme tersebut, muncul pertanyaan kritis tentang arah dan koherensi kebijakan luar negeri Indonesia. Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan China pada 9 November 2024 tampaknya menjadi ujian pelik pertama bagi diplomasi Prabowo.Â
Beberapa kelompok kritis menganggap MoU itu secara implisit mengakui klaim nine-dash line di Laut China Selatan dan telah memicu kontroversi domestik. Langkah ini tidak hanya menimbulkan tanda tanya atas konsistensi posisi Indonesia, tetapi juga berpotensi menggerus kredibilitas kepemimpinan Jakarta di ASEAN.
Walaupun sudah cooling down, pemerintahan Prabowo perlu menegaskan prinsip-prinsip dasar diplomasi Indonesia terhadap China selama ini. Kementerian Luar Negeri dan beberapa pejabat pemerintah telah mengkonfirmasi posisi Indonesia tetap dan tidak berubah.
Ujian diplomasi juga muncul dari BRICS. Kompleksitas diplomasi Indonesia semakin bertambah dengan keputusan untuk bergabung dengan BRICS, yang diumumkan Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono pada 24 Oktober 2024.Â
Di satu sisi, langkah ini dapat dipandang sebagai upaya strategis memperluas pengaruh Indonesia di kalangan negara berkembang. Namun timing dan konteks pengumuman ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, mengingat kondisi internal BRICS sendiri yang diwarnai ketegangan antar-anggota, terutama antara China dan India.
Tantangan diplomatik bertambah rumit dengan ancaman Presiden terpilih AS Donald Trump. Ancaman Trump terkait dengan pengenaan tarif 100 persen pada negara yang mengadopsi mata uang BRICS.Â
Situasi ini menempatkan Indonesia dalam dilema strategis: antara mengabaikan peluang kerja sama BRICS demi menghindari retaliasi AS, atau tetap maju dengan risiko konsekuensi ekonomi yang signifikan.
Penunjukan Sugiono sebagai Menlu juga menarik untuk dicermati. Pemilihan mantan ajudan dengan pengalaman diplomatik terbatas ini mengindikasikan preferensi Prabowo untuk mengendalikan langsung kebijakan luar negeri.Â
Kecenderungan itu mengingatkan pada pola kepemimpinan Prabowo semasa di militer yang terkenal dengan struktur komando paralel. Meskipun pendekatan ini dapat mempercepat pengambilan keputusan, ada risiko terabaikannya expertise korp diplomatik Indonesia yang telah teruji.
Tantangan terbesar dalam diplomasi Prabowo adalah menyeimbangkan ambisi global dengan realitas regional. Sebagai pemimpin informal ASEAN, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kohesi kawasan, terutama dalam menghadapi dinamika di Laut China Selatan.Â
MoU dengan China, meskipun mungkin menguntungkan secara bilateral, telah memicu reaksi keras dari Filipina dan berpotensi melemahkan posisi kolektif ASEAN dalam negosiasi Code of Conduct.
Di tengah absennya respon ASEAN terhadap memanasnya potensi konflik di Laut China Selatan (LCS), beberapa negara merespon langsung tekanan militer China. Lalu, negara-negara lain (misalnya Malaysia dan Vietnam) bekerjasama memperkuat kemitraan pertahanan demi menghadapi provokasi China di LCS.
Politik luar negeri Indonesia di era Prabowo mencerminkan upaya mengkombinasikan pragmatisme ekonomi dengan ambisi geopolitik. Hal ini terlihat dari keinginan bergabung dengan BRICS sekaligus OECD - menunjukkan aspirasi untuk berperan di kedua kubu, baik negara berkembang maupun maju.Â
Namun, dalam konteks global yang semakin terpolarisasi, strategi "duduk di dua kursi" ini mungkin akan semakin sulit dipertahankan.
Lebih dari sekadar persoalan kebijakan, gaya kepemimpinan Prabowo dalam diplomasi mencerminkan transformasi yang lebih luas dalam postur Indonesia di panggung global. Ada dorongan kuat untuk melampaui batasan-batasan tradisional dan mengambil peran yang lebih proaktif dalam urusan internasional.Â
Namun, ambisi ini perlu diimbangi dengan kalkulasi strategis yang matang dan pemahaman mendalam tentang dinamika regional. Ke depan, efektivitas diplomasi Prabowo akan sangat bergantung pada kemampuannya menyeimbangkan berbagai kepentingan yang kompleks.Â
Indonesia perlu mempertahankan otonomi strategisnya dalam berhubungan dengan kekuatan-kekuatan besar, sambil tetap menjaga kredibilitasnya sebagai pemimpin regional. Koordinasi yang lebih baik diperlukan antara berbagai inisiatif diplomatik, serta integrasi yang lebih erat antara visi pribadi presiden dengan expertise Kementerian Luar Negeri.
Dalam konteks yang lebih luas, tantangan terbesar bagi Prabowo adalah mengkonversi aktivisme diplomatiknya menjadi hasil konkret yang menguntungkan kepentingan nasional Indonesia, sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip fundamental politik luar negeri bebas aktif.Â
Di tengah lanskap internasional yang semakin kompleks dan tidak pasti, keseimbangan antara pragmatisme dan prinsip, antara ambisi global dan tanggung jawab regional, akan menjadi kunci keberhasilan diplomasi Indonesia di bawah kepemimpinannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H