Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketinggalan Kereta di Bratislava

18 Desember 2024   23:38 Diperbarui: 18 Desember 2024   23:38 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kunjungan ke Bratislava dan Praha menjelang musim panas 2013 tak bisa dilupakan begitu saja. 

"Kurva život!" umpat mas Dab dalam bahasa Slovakia yang diajarkan mas Gondhes. Teman karibnya itu sedang studi S3 di Comenius University,  Bratislava. 

Mas Dab ngos-ngosan setelah berlari dari Old Town menuju Hlavná stanica. Jam di stasiun pusat Bratislava menunjukkan pukul 15:05 - kereta ke Praha sudah berangkat lima menit yang lalu.

Siapa menyangka bahwa semua serba on-time, bahkan, di negara bekas Eropa Timur. Padahal rencananya sudah matang. Setelah dua hari menjelajahi Bratislava bersama mas Gondhes, mas Dab harus kembali ke Praha untuk presentasi makalah atau paper.

Presentasi paper adalah satu satu alasan paling orisinal bagi seorang dosen yang berkunjung ke luar negeri dengan biaya kampus. Presentasi itu adalah bagian dari kerjasama akademik di Metropolitan University Prague (MUP) esok paginya. 

Keliling Old Town

Tapi pesona Old Town Bratislava dan obrolan nostalgik dengan mas Gondhes membuatnya lupa waktu. Dibanding Praha, kawasan Old Town Bratislava memang lebih terjangkau dengan jalan kaki.

Pagi tadi, mas Gondhes mengajaknya sarapan di Cafe Roland dekat Main Square. Cafe bersejarah itu terkenal dengan Bratislavské rožky-nya, kue tradisional berbentuk bulan sabit yang menjadi ikon kuliner kota ini. 

Baca juga: Penikmat Kopi

Sambil menikmati kue dan kopi, mereka berbagi cerita tentang kehidupan akademik masing-masing. Mas Gondhes dengan penelitian doktoralnya tentang politik Eropa Tengah dan mas Dab dengan proyeknya membangun jembatan akademik antar-kampus.

Setelah sarapan itu, mereka menyusuri Michael's Gate (lihat gambar di bawah), gerbang gothic abad ke-14 yang menjadi pintu masuk utama Old Town. Di sepanjang jalanan berbatu, mas Gondhes menjelaskan sejarah bangunan-bangunan tua dengan detail yang tidak terduga. 

Michael's Gate (https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSGSaPdMTnm-YAh39bHbYcUbbZw-I4fw2psmNxDF2Fi0HaeGHFTIEWCERo&s=10)
Michael's Gate (https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSGSaPdMTnm-YAh39bHbYcUbbZw-I4fw2psmNxDF2Fi0HaeGHFTIEWCERo&s=10)

Pengetahuan semacam itu hanya bisa didapat dari seseorang yang telah tinggal di kota ini selama dua tahun. Terlalu banyak informasi yang harus diserap bagi pelancong dadakan macam mas Dab.

Mereka pun mampir ke Main Square. Di situ, ada air mancur Maximilian berdiri megah di tengah plaza yang dikelilingi bangunan baroque. 

Mas Gondhes menunjuk patung tentara Napoleon yang duduk santai di bangku sudut alun-alun. Dia menceritakan legenda tentara Prancis yang jatuh cinta pada Bratislava dan memutuskan menetap di sini.

Perjalanan berlanjut ke Gereja Biru, masterpiece Art Nouveau yang terkenal dengan warna birunya yang mencolok. Mas Gondhes membawa mas Dab ke sudut-sudut tersembunyi Old Town yang jarang dikunjungi turis. 

Mereka menyusuri gang-gang sempit dengan grafiti modern yang kontras dengan dinding tua. Café-café tampaknya dibangun di dalam gedung bekas era komunis. Sebuah kawasan wisata tak akan lengkap tanpa toko-toko vintage yang menjual poster-poster propaganda Soviet.

Di Grassalkovich Palace, sekarang istana presiden Slovakia, mereka bertemu sepasang turis Jerman. Kedengarannya mereka lagi bercakap soal sejarah perpecahan damai Czechoslovakia. Negara itu berpisah baik-baik menjadi Ceko dan Slovakia.

Mas Gondhes, dengan bahasa Jermannya yang fasih hasil kuliah di Bratislava, ikutan dalam diskusi itu. Temanya adalah posisi unik Bratislava sebagai satu-satunya ibukota di dunia yang berbatasan langsung dengan tiga negara, yaitu Ceko, Austria, dan Hungaria.

Dari teras Kastil Bratislava yang menjulang di atas bukit, mas Gondhes menunjukkan panorama kota. Mas Dab takjub. 

Menara-menara gothic menyembul di antara atap merah Old Town. Sungai Danube tampak membelah kota, hingga perbatasan Austria yang terlihat di kejauhan. "Dulu waktu masih Czechoslovakia, kastil ini jadi saksi bisu Perang Dingin," jelasnya.

Waktunya ke Praha

Waktu berlalu begitu cepat di antara cerita-cerita sejarah dan nostalgia masa kuliah mereka di Indonesia. Sebelum mas Dab sadar, jam sudah menunjukkan waktu keberangkatan kereta ke Praha.

Mereka segera merapat ke stasiun kereta. Kini di loket stasiun, mas Dab mengetahui kereta berikutnya baru tersedia besok pagi. Terlalu terlambat untuk presentasinya di MUP. 

Untungnya masih ada bis jam 16.30. Mas Gondhes, yang merasa bertanggung jawab atas keterlambatan ini, menemani sampai bis berangkat. Bukan Yellow bus yang melintasi beberapa negara di Eropa. 

Ini semacam bis antar-kota antar-negara. Trayeknya khusus Bratislava ke Praha dengan waktu tempuh 3 jam.

Di platform bis, mas Gondhes memberikan buku panduan bahasa Slovakia yang sudah penuh coretan dan catatan pribadi. "Lumayan buat belajar di bis," candanya. "Sekalian biar next time ke sini bisa ngobrol sama locals."

Dalam perjalanan menuju Praha, mas Dab membaca catatan-catatan mas Gondhes di buku panduan itu. Ada terjemahan istilah akademik, nama-nama makanan lokal, bahkan jokes dalam bahasa Slovakia. 

Di salah satu halaman, mas Gondhes menulis: "Bratislava itu seperti novel sejarah yang hidup - setiap sudut punya cerita, setiap bangunan punya memori."

Bis melaju menembus senja, meninggalkan Bratislava yang kini punya makna lebih dari sekadar perhentian singkat. Berkat mas Gondhes, kota ini tidak lagi hanya deretan bangunan tua dan fakta-fakta turistik. 

Bratislava telah menjadi mozaik cerita personal dalam ingatan mas Dab. Soal persahabatan, passion akademik, dan kejutan-kejutan manis yang datang dari rencana yang melenceng menjadi bukti kedekatan mereka.

Besoknya di presentasinya di MUP, mas Dab berpikir akan membuka dengan cerita ketinggalan kereta di Bratislava. Tapi lebih dari itu, dia akan bercerita tentang bagaimana kerjasama akademik bukan sekadar pertukaran pengetahuan.

Kerjasama itu juga tentang membangun jembatan budaya dan persahabatan, seperti yang dia alami bersama mas Gondhes di jalanan berbatu Old Town Bratislava.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun