Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Perubahan Kebijakan Luar Negeri AS di Era Trump 2.0?

26 November 2024   08:18 Diperbarui: 26 November 2024   11:33 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) menandai babak baru dalam politik luar negeri AS.

Dengan mengusung kembali slogan populisnya, “America First,” Trump 2.0 tampaknya akan menghidupkan kembali kebijakan unilateral yang berfokus pada kepentingan domestik, sembari mengguncang tatanan global yang telah mapan. 

Meski begitu, pertanyaan menariknya: apakah pendekatan ini hanya akan memperkuat isolasionisme atau justru menciptakan dinamika baru dalam hubungan internasional?

KebijakanAmerica First

Selama masa jabatan pertamanya (2017–2021), Trump mengubah arah kebijakan luar negeri AS secara radikal. Trump memberi prioritas pada kepentingan ekonomi domestik dengan memberlakukan tarif tinggi terhadap mitra dagang utama, termasuk Uni Eropa dan Tiongkok. 

Trump juga mengkritik keras aliansi multilateral, seperti NATO. Bagi Trump, NATO hanya menjadi “beban” bagi Amerika. Kebijakan ini didasarkan pada pandangan bahwa AS telah terlalu lama menjadi “bankir dunia” tanpa mendapatkan imbalan yang setimpal.

Sebaliknya, kebijakan Trump itu telah menuai kritik tajam. Di satu sisi, Trump berhasil menarik perhatian pada ketidakseimbangan perdagangan dan memperketat imigrasi. Di sisi lain, pendekatan agresifnya melemahkan hubungan transatlantik dan menciptakan ketidakpastian global. 

G. John Ikenberry (2020), misalnya, menjelaskan pendekatan “America First” melemahkan legitimasi AS di panggung internasional. Kebijakan AS itu malah membuka jalan bagi negara lain, seperti Tiongkok, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan global.

Era Trump 2.0

Jika kebijakan luar negeri Trump pada masa lalu lebih berfokus pada perdagangan dan aliansi keamanan, periode kedua ini kemungkinan akan menonjolkan isu-isu geopolitik baru yang lebih kompleks.

Kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan global, ketegangan di Indo-Pasifik, dan ancaman dari Rusia pasca-perang Ukraina adalah tantangan yang tidak dapat diabaikan oleh Trump pada saat ini.

Meski begitu, "America First" tampaknya akan tetap menjadi inti kebijakannya. Trump diperkirakan akan:

1. Mengurangi Komitmen Militer Global: Kemungkinan besar Trump akan kembali mendesak negara-negara NATO untuk berbagi beban lebih besar dalam pembiayaan keamanan. Kecenderungan ini sejalan dengan kritik bahwa sekutu AS perlu lebih mandiri dalam menghadapi tantangan keamanan regional (Walt, 2018).

2. Perang Dagang dengan Pendekatan Baru: Kebijakan proteksionis diperkirakan terus berlanjut, tetapi mungkin lebih fokus pada teknologi dan keamanan siber. Dua bidang itu telah menjadi titik konflik utama AS dengan Tiongkok selama ini.

3. Menekan Kebangkitan Tiongkok: Trump kemungkinan besar akan memperkuat retorikanya terhadap Tiongkok, baik dalam perdagangan maupun dalam isu-isu, seperti Taiwan dan Laut Cina Selatan. Menurut Graham Allison (2020), persaingan AS-Tiongkok semakin menyerupai Thucydides’ Trap. Dalam jabatan itu, kekuatan dominan AS merasa terancam oleh kekuatan China yang sedang bangkit.

Namun demikian, yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana Trump akan menangani isu-isu global yang membutuhkan kerja sama internasional, misalnya perubahan iklim dan krisis pengungsi. 

Mengingat sejarahnya menarik AS keluar dari Perjanjian Paris, sulit membayangkan Trump akan berkomitmen pada inisiatif global yang melibatkan konsesi dari pihak AS.

Dampak pada Politik Global

Kepemimpinan Trump di panggung internasional selalu menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, retorika “America First” sering kali membuat AS terisolasi, mengurangi pengaruhnya di forum multilateral, seperti PBB (Ikenberry, 2020).

Namun di sisi lain, pendekatan ini mendorong negara-negara lain untuk meningkatkan otonomi strategis mereka, seperti yang terlihat dalam inisiatif pertahanan Eropa melalui “Strategic Autonomy” atau peningkatan peran regional Tiongkok di Asia.

Pada periode kedua mulai 2025, kemungkinan akan terjadi dinamika serupa, tetapi dengan intensitas yang lebih tinggi. Beberapa dampak yang dapat diperkirakan meliputi:

1. Penguatan Aliansi Alternatif: Eropa mungkin semakin menjauh dari AS dan berupaya memperkuat hubungannya dengan negara-negara Asia. Hal ini bisa memunculkan tatanan dunia multipolar yang lebih jelas.

2. Ketegangan di Indo-Pasifik: Trump kemungkinan besar akan memperkuat posisi militer AS di wilayah ini sebagai respons terhadap kebijakan ekspansif Tiongkok. Namun, pendekatan kerasnya bisa meningkatkan risiko konflik terbuka.

3. Penurunan Pengaruh Multilateral: Dengan kebijakan luar negeri yang cenderung unilateral, Trump dapat mempercepat penurunan pengaruh AS dalam lembaga-lembaga internasional, seperti WHO atau WTO.

Asia Tenggara dan Indonesia

Asia Tenggara akan menjadi salah satu kawasan yang paling terdampak oleh kebijakan Trump 2.0. Dengan posisinya yang strategis di Indo-Pasifik dan pentingnya jalur pelayaran di Selat Malaka, kawasan ini tidak bisa melepaskan diri dari persaingan AS-Tiongkok.

Bagi negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, kebijakan “America First” membawa tantangan dan peluang tersendiri:

Salah satu tantangannya adalah jika Trump memperkuat tekanannya pada China, negara-negara Asia Tenggara akan semakin terjebak dalam dilema memilih antara dua kekuatan besar. Indonesia, yang selama ini mengadopsi strategi “hedging,” harus mempertimbangkan kembali posisinya agar tidak kehilangan otonomi strategis.

Namun, pendekatan pragmatis Trump terhadap hubungan bilateral dapat memberikan ruang bagi negara-negara ASEAN untuk merundingkan kesepakatan ekonomi yang lebih menguntungkan.

Indonesia, sebagai kekuatan utama di ASEAN, memiliki kepentingan strategis untuk memastikan stabilitas regional tetap terjaga. Diplomasi multilateral yang kuat dapat menjadi kunci bagi negara-negara ASEAN untuk menjaga keseimbangan antara AS dan Tiongkok.

Dengan memantau langkah Trump dan menyesuaikan strategi secara cermat, Indonesia dan kawasan Asia Tenggara bisa memiliki kesempatan untuk tetap relevan dalam arus perubahan dunia yang semakin cepat. Era Trump2.0 mungkin penuh risiko, tetapi juga menawarkan peluang untuk mengukuhkan posisi di tatanan dunia yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun