Lebih lanjut, keputusan bandwagoning seringkali didasari oleh kalkulasi jangka panjang tentang pergeseran kekuatan global. Dengan proyeksi bahwa negara-negara BRICS akan mendominasi pertumbuhan ekonomi global dalam dekade mendatang, keputusan Indonesia untuk mendekat ke blok ini mencerminkan strategic foresight yang tajam.
Dari sisi politik, status sebagai anggota BRICS dapat meningkatkan leverage Indonesia dalam forum-forum internasional. Posisi seperti itu seringkali dapat dikapitalisasi menjadi pengaruh politik di dalam sistem multipolar.
Risiko
Namun begitu, strategi bandwagoning for profit tetap mengandung risiko. Indonesia harus cermat menyeimbangkan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan tradisional seperti AS dan sekutunya. Indonesia perlu menjaga hubungan dengan mitra tradisional, seperti AS dan Jepang.
Risiko geopolitik juga dikawatirkan muncul. Ketegangan AS-China dan konflik Ukraina-Rusia mempengaruhi dinamika internal BRICS. Indonesia harus berhati-hati agar tidak terseret dalam polarisasi global.
Meski demikian, risiko diplomatik semacam itu relatif dapat dikelola selama negara mempertahankan fleksibilitas strategisnya. Keterlibatan sebuah negara dalam BRICS tidak harus berarti meninggalkan institusi-institusi yang ada, melainkan dapat menjadi complement yang memperkuat posisi tawar negara itu.
Dari perspektif domestik, keberhasilan strategi bandwagoning for profit juga bergantung pada kapasitas sebuah negara untuk mengkapitalisasi peluang yang ada. Indonesia di bawah Prabowo, dengan visi pembangunan ekonomi yang tampaknya ambisius, telah siap mengoptimalkan keuntungan dari keanggotaan BRICS.
Perbedaan sistem ekonomi dan regulasi antar-negara BRICS memerlukan penyesuaian kebijakan domestik Indonesia. Indonesia perlu mempertimbangkan penguatan kapasitas institusional domestik untuk mengoptimalkan kerjasama BRICS, termasuk, misalnya, pembentukan tim khusus di Kemlu dan Kemenkeu.
Di era state capitalism, keanggotaan dalam blok ekonomi-politik seperti BRICS dapat memberikan akses ke sumber daya dan pasar yang vital bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini semakin memperkuat rasionalitas di balik keputusan Indonesia.
Analisis biaya-manfaat menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, keuntungan dari diversifikasi aliansi ekonomi-politik cenderung melebihi risiko jangka pendek dari potential diplomatic fallout. Ini memperkuat argumen bahwa keputusan Indonesia mencerminkan kalkulasi strategis yang matang.
Oleh karena itu, minat Indonesia terhadap keanggotaan BRICS dapat dikatakan merepresentasikan manifestasi konkret dari strategi bandwagoning for profit dalam era multipolar. Keputusan ini mencerminkan kalkulasi rasional di mana potensi keuntungan ekonomi dan politik dinilai jauh melampaui risiko diplomatik yang mungkin timbul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H