Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kalkulasi Strategis Indonesia Menjadi Anggota BRICS

24 November 2024   12:41 Diperbarui: 25 November 2024   00:48 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah dinamika multipolaritas global yang semakin kompleks, Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto memutuskan untuk menunjukkan minat bergabung dengan BRICS melalui kehadiran Menlu Sugiono di KTT BRICS 2024 di Kazan, Rusia. Keputusan itu menjadi langkah diplomasi penting di awal pemerintahan Prabowo dalam merespons perkembangan internasional.

BRICS telah berkembang signifikan sejak pembentukannya. Pada 1 Januari 2024, BRICS resmi menerima lima anggota baru: Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab, menjadikan total anggotanya 10 negara. 

Blok ini kini mewakili 36% dari GDP global dan 46% populasi dunia. New Development Bank (NDB) BRICS telah menyalurkan lebih dari $33 miliar untuk 96 proyek pembangunan di negara-negara anggota sejak 2015.

KTT BRICS Kazan 2024 menandai momentum penting dengan agenda utama memperkuat sistem pembayaran alternatif BRICS Pay dan mendorong de-dolarisasi dalam perdagangan internasional. Sistem ini telah memfasilitasi transaksi senilai $150 miliar antar negara anggota pada 2023, meningkat 45% dari tahun sebelumnya.

Keputusan Indonesia mendekati BRICS mencerminkan kalkulasi strategis yang rasional dalam konteks multipolaritas global pada saat ini. Dengan pertimbangan keuntungan ekonomi yang substansial dan pengaruh politik yang meningkat, langkah ini berpotensi memperkuat posisi Indonesia dalam tatanan global yang tengah berubah.

Bandwagoning for profit
Untuk mempelajari perilaku Indonesia itu, salah satu konsep menarik dalam studi Hubungan internasional adalah "bandwagoning for profit." Menurut Randall Schweller (2024), pendekatan ini menyoroti bagaimana negara-negara emerging power, seperti Indonesia, cenderung mengambil keputusan strategis berdasarkan kalkulasi keuntungan yang lebih besar dibanding risiko yang mungkin dihadapi.

https://sinpo.id/storage/2024/10/prabowo-ungkap-alasan-indonesia-gabung-brics-kita-mau-ri-berada-di-mana-mana-28102024-114405.jpg
https://sinpo.id/storage/2024/10/prabowo-ungkap-alasan-indonesia-gabung-brics-kita-mau-ri-berada-di-mana-mana-28102024-114405.jpg

Argumen Schweller (2024) adalah dalam sistem internasional kontemporer, negara-negara tidak lagi semata-mata melakukan balancing atau bandwagoning untuk keamanan, tetapi lebih didorong oleh prospek keuntungan ekonomi dan pengaruh politik. Indonesia, misalnya, sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, melihat BRICS sebagai platform strategis untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya.

Dari perspektif ekonomi, bergabung dengan BRICS menawarkan sejumlah keuntungan substansial. Beberapa keuntungan struktural itu misalnya adalah akses ke New Development Bank (NDB) dan sistem pembayaran alternatif BRICS (Richardson, 2023). 

Akses ini dapat memperkuat posisi tawar Indonesia dalam arsitektur keuangan global. Negara-negara emerging power perlu semakin aktif mencari alternatif terhadap institusi-institusi Bretton Woods yang didominasi Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun