Menjelang Konferensi Tinggat Tinggi (KTT) ASEAN 9-11 Oktober 2024, ASEAN tetap dihadapkan pada persoalan pelik yang mengancam kredibilitas dan relevansinya. Persoalan itu adalah krisis Myanmar sejak kudeta militer pada Februari 2021.
ASEAN sebenarnya telah mengeluarkan Konsensus Lima Poin (Five-Point Consensus) sebagai upaya awal untuk menyelesaikan konflik. Namun begitu, pendekatan ini dinilai gagal karena sikap keras kepala militer Myanmar yang terus mengabaikan seruan internasional dan ASEAN sendiri.Â
Di tengah kebuntuan ini, ASEAN dihadapkan pada tantangan mempertahankan kredibilitas dan pengaruhnya di tengah semakin mendalamnya krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar sejak 2021.
Kompleksitas Krisis Myanmar
Kudeta militer di Myanmar telah menyebabkan eskalasi konflik antara militer, kelompok oposisi, dan etnis minoritas bersenjata. Junta militer, yang dikenal dengan Dewan Administrasi Negara (State Administrative Council), telah menunjukkan sikap tidak kooperatif.Â
SAC selalu menolak perundingan politik yang melibatkan pemerintah bayangan, National Unity Government (NUG), yang mewakili oposisi utama. Kekerasan militer juga terus meningkat, termasuk serangan udara terhadap warga sipil, yang telah dikutuk oleh komunitas internasional.
Selain itu, junta militer mencoba melegitimasi kekuasaannya melalui rencana pemilihan umum, yang menurut banyak pihak hanyalah "pemilu palsu" yang tidak akan memberikan solusi nyata bagi krisis ini. Tindakan junta ini telah menambah ketidakstabilan di Myanmar, dan pemilu yang direncanakan hanya akan memperparah konflik.Â
Banyak pengamat internasional, termasuk dari ASEAN, menilai bahwa pemilu yang dikelola oleh militer tidak akan kredibel dan hanya akan memperkuat cengkeraman junta atas kekuasaan. Selain itu, janji pemilu dianggap sebagai strategi junta militer memperpanjang kekuasaannya.
Konsensus Lima Poin
Sejak dikeluarkannya Konsensus Lima Poin, ASEAN diharapkan dapat menjadi mediator utama dalam menyelesaikan konflik di Myanmar. Namun, implementasi dari konsensus ini terhambat oleh kurangnya kemauan politik dari junta untuk mematuhi poin-poin yang disepakati.Â
Salah satu poin kunci dari konsensus, misalnya, adalah dimulainya dialog inklusif dengan semua pihak. Namun kenyataannya hingga kini, junta secara konsisten menolak untuk berunding dengan kelompok oposisi, seperti NUG.
ASEAN juga menghadapi kritik karena pendekatannya yang terlalu "lunak" dan "tidak tegas" terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh junta. Alih-alih memberlakukan sanksi atau tindakan keras lainnya, ASEAN hanya mengeluarkan pernyataan yang mengutuk kekerasan secara umum.Â
ASEAN tidak secara spesifik mengecam tindakan militer atau menyerukan adanya akuntabilitas bagi kejahatan yang dilakukan. Ini menunjukkan lemahnya komitmen ASEAN dalam menangani krisis ini, yang menyebabkan organisasi tersebut semakin kehilangan relevansinya di mata komunitas internasional.
Tantangan Internal
ASEAN, dengan prinsip non-interferensi dan konsensus dalam pengambilan keputusan, menghadapi kesulitan dalam mengambil tindakan tegas terhadap Myanmar. Beberapa negara anggota, seperti Kamboja dan Thailand, cenderung lebih lunak dalam pendekatannya terhadap junta, sementara negara-negara lain seperti Indonesia dan Malaysia telah bersikap lebih kritis.Â
Perpecahan dan perbedaan pandangan ini membuat ASEAN sulit mencapai konsensus dalam mengambil langkah yang lebih keras terhadap Myanmar. Berbagai inisiatif penyelesaian krisis Myanmar telah dilakukan, namun perbedaan pandangan itu menambah kompleks penyelesaian krisis Myanmar.
Selain itu, keterlibatan kekuatan besar, seperti China dan India, yang memiliki kepentingan di Myanmar juga menambah lapisan kompleksitas dalam upaya ASEAN untuk menangani krisis ini. Kedua negara ini memiliki hubungan strategis dengan junta dan terlibat dalam persaingan geopolitik di kawasan, yang pada akhirnya dapat melemahkan peran ASEAN dalam menengahi konflik.
Upaya untuk Tetap Relevan
Meskipun menghadapi berbagai hambatan, ASEAN tetap berupaya mempertahankan relevansinya dalam menangani krisis Myanmar. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memperluas keterlibatan dengan aktor-aktor non-militer, termasuk NUG dan kelompok etnis bersenjata, yang memiliki pengaruh besar di beberapa wilayah Myanmar.Â
Langkah ini akan memberikan tekanan diplomatik yang lebih besar kepada junta dan meningkatkan legitimasi ASEAN di mata rakyat Myanmar yang mendukung perlawanan. Hingga kini, ASEAN menolak kehadiran perwakilan politik junta militer Myanmat di berbagai pertemuan tingkat tinggi (KTT).
Selain itu, ASEAN juga perlu memperluas bantuan kemanusiaan melalui mekanisme yang lebih independen dari kontrol junta, seperti melibatkan organisasi masyarakat sipil di perbatasan Thailand-Myanmar. Upaya ini akan memastikan bantuan benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan, tanpa memperkuat kekuasaan junta.
Pada akhirnya, jika ASEAN ingin tetap relevan dan diakui sebagai aktor penting dalam menyelesaikan konflik Myanmar, organisasi ini harus berani mengambil langkah-langkah yang lebih tegas dan strategis.Â
Kegagalan dalam menanggapi krisis ini dengan tepat dapat mengakibatkan ASEAN tidak hanya kehilangan pengaruh di Myanmar, tetapi juga di kawasan yang lebih luas, terutama dalam menghadapi dinamika geopolitik yang semakin kompleks.
Sumber:
1. https://thediplomat.com/2024/07/asean-must-step-up-or-face-irrelevance-on-the-myanmar-crisis/,Â
3. https://www.stimson.org/2023/myanmar-reveals-aseans-weak-spot-again/,Â
4. https://thediplomat.com/2024/04/southeast-asians-dont-really-care-about-the-myanmar-crisis/,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H