Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Potensi Perang Besar di Timur Tengah Akibat Konflik Israel-Iran

4 Oktober 2024   22:45 Diperbarui: 6 Oktober 2024   15:11 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Potensi perang besar di Timur Tengah, terutama antara Israel dan Iran, merupakan manifestasi jelas dari adagium realisme dalam hubungan internasional. Adagium itu adalah negara harus selalu siap berperang demi menciptakan perdamaian. 

Prinsip ini sering disebutkan dalam teori realisme bahwa aktor-aktor negara secara inheren bersifat egois dan anarki dalam sistem internasional menuntut mereka mengandalkan kekuatan militer untuk bertahan. Meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran menunjukkan bagaimana konsep ini bekerja dalam dinamika geopolitik Timur Tengah.

Dalam konteks realisme, perang seringkali dipandang sebagai alat untuk mencapai stabilitas melalui kekuatan. Hans Morgenthau (1948), salah satu tokoh utama dalam teori realisme klasik, menggambarkan bahwa politik internasional adalah perjuangan untuk kekuasaan dan negara-negara harus bertindak demi kepentingan nasional mereka dalam kerangka anarki internasional. 

Dalam konflik antara Israel dan Iran, masing-masing negara melihat kekuatan militer sebagai alat untuk mencapai tujuan strategis mereka. Israel, misalnya, melihat program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial dan merasa perlu menggunakan kekuatan militer untuk menetralkan ancaman tersebut.

Pandangan ini seirama dengan pandangan John Mearsheimer, seorang tokoh realisme ofensif. Bagi Mearsheimer, negara-negara besar akan selalu berusaha memaksimalkan kekuasaan mereka untuk mencapai keamanan dalam sistem internasional yang tidak pasti. 

Dalam kasus ini, Israel telah secara konsisten melakukan serangan udara terhadap fasilitas militer dan nuklir Iran, baik secara langsung maupun melalui operasi rahasia.

Di sisi lain, Iran menggunakan milisi proksi, seperti Hezbollah dan Hamas untuk menekan Israel dari jarak jauh. Strategi kedua kelompok itu bertujuan memaksimalkan pengaruh dan kekuatan di wilayah tersebut (Mearsheimer, 2001).

Perang proxy yang terjadi di Suriah antara Iran dan Israel memperlihatkan bagaimana kedua negara menggunakan kekuatan militer dan proksi untuk mempertahankan kepentingan mereka.

Iran, yang mendukung pemerintahan Bashar al-Assad, memandang Suriah sebagai wilayah strategis yang harus dipertahankan agar tetap memiliki pengaruh di kawasan tersebut. 

Di sisi lain, Israel secara aktif menargetkan pasukan dan infrastruktur Iran di Suriah untuk mengurangi kehadiran Iran di perbatasan utara mereka (Waltz, 1979). 

Peran AS

Keterlibatan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS), dalam konflik ini juga memperlihatkan bagaimana dinamika kekuatan global mempengaruhi stabilitas di Timur Tengah. AS, sebagai sekutu kuat Israel, memiliki kepentingan untuk menjaga keunggulan militer Israel di kawasan tersebut. 

Dukungan Amerika terhadap Israel tidak hanya berupa bantuan militer, tetapi juga upaya diplomatik untuk memastikan bahwa Iran tidak berhasil mengembangkan senjata nuklir. Namun, hal ini seringkali memicu Iran untuk semakin memperkuat pertahanan dan militernya, menciptakan siklus kekerasan yang sulit dipecahkan.

Salah satu aspek penting dalam memahami potensi perang besar ini adalah kegagalan diplomasi. Upaya untuk mencapai kesepakatan nuklir baru antara Amerika Serikat dan Iran telah menemui jalan buntu, sementara ketegangan terus meningkat. 

Presiden Joe Biden memperingatkan bahwa jika jalur diplomasi gagal, konflik yang lebih besar di Timur Tengah akan sulit dihindari. Biden menekankan bahwa kegagalan kesepakatan nuklir ini akan "membuka pintu" bagi eskalasi militer yang tidak hanya melibatkan Israel dan Iran, tetapi juga sekutu-sekutu mereka di kawasan.

Sedangakan pemimpin Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dalam beberapa kesempatan menuduh negara-negara Barat, terutama AS, sebagai biang keladi dari eskalasi konflik ini.

Khamenei menyatakan bahwa intervensi negara-negara Barat di Timur Tengah hanya memperburuk situasi dan merongrong kedaulatan negara-negara di kawasan tersebut. Menurutnya, ketergantungan pada kekuatan militer oleh negara-negara Barat justru memperpanjang konflik yang ada.

Argumen Khamenei sejalan dengan pandangan Kenneth Waltz (1979) bahwa ketidakstabilan internasional seringkali disebabkan oleh distribusi kekuasaan yang tidak merata dan tindakan hegemonik negara-negara besar.

Kekuatan militer negara-negara besar seringkali menjadi sumber ketidakstabilan karena mereka memicu perlombaan senjata dan eskalasi konflik di kawasan-kawasan yang rentan.

Dengan Israel dan Iran yang terus memperkuat posisi militer mereka, potensi perang besar di Timur Tengah semakin mendekati kenyataan. Sementara upaya diplomasi tetap berjalan, banyak analis yang pesimis bahwa konflik ini bisa diselesaikan secara damai. 

Hal ini terutama karena baik Israel maupun Iran menempatkan keamanan nasional di atas segala-galanya. Dalam konteks realisme, keamanan hanya bisa dicapai melalui kekuatan militer.

Potensi perang

Jika perang benar-benar pecah, dampaknya akan meluas ke seluruh dunia. Sebagai kawasan penghasil minyak terbesar di dunia, Timur Tengah memegang peran penting dalam stabilitas ekonomi global. 

Gangguan dalam pasokan energi akibat perang akan menyebabkan kenaikan harga minyak yang signifikan, mempengaruhi negara-negara di seluruh dunia. 

Potensi perang ini juga akan menciptakan krisis pengungsi yang lebih besar di kawasan, dengan negara-negara tetangga seperti Lebanon, Yordania, dan Turki yang harus menanggung beban pengungsi dari zona konflik.

Lebih jauh lagi, perang ini juga akan merusak upaya perdamaian di kawasan lain. Negara-negara yang terlibat dalam konflik, baik secara langsung maupun melalui proksi, akan menghadapi tekanan yang semakin besar di dalam negeri, yang dapat memicu ketidakstabilan politik dan sosial. 

Sebagai contoh, Lebanon yang sudah menghadapi krisis ekonomi, kemungkinan besar akan terjebak dalam konflik ini karena keterlibatan Hezbollah sebagai milisi proksi Iran.

Dari sudut pandang realisme, potensi perang besar di Timur Tengah adalah hasil dari logika anarki internasional yang memaksa negara-negara untuk selalu siap berperang. Kekuatan militer dianggap sebagai alat utama untuk mencapai keamanan nasional dan mempertahankan kedaulatan. 

Dalam konflik antara Israel dan Iran, kita bisa melihat bagaimana adagium bahwa negara harus siap berperang untuk berdamai terus terbukti relevan. Kedua negara ini merasa bahwa kekuatan militer adalah satu-satunya cara untuk menekan musuh mereka. 

Negara-negara besar tidak memiliki pilihan, selain meningkatkan kekuasaan mereka di dunia yang anarkis. Dalam hal ini, potensi perang besar di Timur Tengah adalah manifestasi dari sistem internasional yang mendukung penggunaan kekuatan militer sebagai alat utama dalam mencapai perdamaian dan stabilitas. 

Di bawah kerangka ini, Israel dan Iran hanya berusaha untuk memastikan bahwa mereka berada dalam posisi yang aman dan kuat di kawasan tersebut, bahkan jika itu berarti mengorbankan perdamaian jangka pendek.

Untuk mencegah perang besar, dunia internasional perlu mencari jalan keluar diplomatik yang mampu mengakomodasi kepentingan keamanan kedua negara. 

Meski begitu, selama Israel dan Iran terus berpegang teguh pada prinsip-prinsip realisme, di mana kekuatan militer adalah alat utama untuk mencapai tujuan, maka jalan menuju perdamaian di Timur Tengah dikhawatirkan tetap terjal dan berliku.

Sumber:

1. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20241003202215-120-1151349/pemimpin-iran-sebut-negara-barat-biang-kerok-eskalasi-konflik-timteng 

2. https://news.detik.com/internasional/d-7571569/perang-besar-besaran-akan-terjadi-di-timur-tengah-ini-kata-biden 

3. https://www.cnbcindonesia.com/news/20241002134109-4-576358/pintu-perang-israel-iran-dan-kegagalan-diplomasi-as-di-timur-tengah&ved=2ahUKEwiFjKC7zvSIAxUK7zgGHYBROR8QFnoECDgQAQ&usg=AOvVaw3nT2BJ2p7oXzDJ_yGcl8hy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun