Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kabinet Zaken di Era Koalisi Gemuk: Antara Harapan dan Realitas Politik

21 September 2024   23:43 Diperbarui: 23 September 2024   08:03 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Ilustrasi/KOMPAS.com)

Keberhasilan kabinet zaken di masa lalu disebabkan oleh pemilihan menteri berdasarkan sistem merit dan keahlian, bukan atas pertimbangan komposisi partai di parlemen (Susilo, 2024). Pendekatan ini memungkinkan pemerintah untuk merekrut talenta terbaik tanpa terikat pada afiliasi politik tertentu.

Stabilitas politik

Namun, konteks politik saat ini berbeda dengan era 1950-an. Koalisi super gemuk yang mendukung Prabowo-Gibran, yang terdiri dari berbagai partai politik besar, diprediksi menciptakan dinamika baru dalam pembentukan kabinet. 

Partai-partai pendukung tentu berharap mendapatkan "jatah" kursi menteri sebagai bentuk representasi dan partisipasi mereka dalam pemerintahan (Aspinall & Berenschot, 2019). 

Dengan 13 partai pengusung dan pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, jika tiap partai diasumsikan mendapat dua kursi menteri, jumlah menteri yang berasal dari unsur partai akan berjumlah 26 orang dari total 34 kementerian atau 76 persen.

Gerindra sebagai parpol penguasa tentu saja berharap mendapatkan jatah menteri lebih daripada parpol lainnya. Baku kepentingan akan menjadi-jadi ketika parpol pengusung capres yang kalah pada pilpres 2024 ternyata mendapatkan kursi menteri juga. 

Potensi kabinet gemuk pada pemerintahan mendatang terbuka lebar. Revisi Undang-Undang tentang Kementerian Negara yang menghapus batasan jumlah kementerian semakin memperumit situasi. 

Perubahan ini lebih mencerminkan upaya mengakomodasi kepentingan politik daripada memastikan kapasitas personal yang mengisi kabinet. Kekhawatiran akan terbentuknya "kabinet obesitas" yang tidak efisien dan sulit dikoordinasikan dapat menjadi nyata.

Di sisi lain, urgensi stabilitas politik tidak bisa diabaikan. Indonesia telah mengalami fase konsolidasi demokrasi yang panjang sejak era Reformasi, dan stabilitas politik menjadi faktor kunci dalam mendukung pembangunan ekonomi dan sosial (Mietzner, 2020).

Koalisi gemuk, meskipun berpotensi mengorbankan efisiensi kabinet, dapat dilihat sebagai upaya untuk menjaga stabilitas politik dengan meminimalkan oposisi di parlemen. Potensi politicking di Parlemen dan ekstra-Parlemen dikhawatirkan meniru pengulangan Presiden Abdurrahman Wahid.

Pengalaman pemerintahan Joko Widodo menunjukkan bahwa koalisi besar dapat memberikan dukungan politik yang solid untuk menjalankan agenda pemerintah (Warburton, 2020). Namun, kritik terhadap praktik "bagi-bagi kursi" dan potensi korupsi yang menyertainya juga tidak bisa diabaikan (Muhtadi, 2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun