Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Demokrasi Digital di Indonesia, Dinamika Peran Influencer dalam #KawalPutusanMK

29 Agustus 2024   18:07 Diperbarui: 29 Agustus 2024   21:10 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- Demokrasi digital. (Kompas.id/Heryunanto)

Era digital tanpa diduga telah mengubah lanskap demokrasi secara signifikan. Jalur-jalur baru bagi partisipasi publik dan diskursus politik dapat dilakukan secara digital di ruang-ruang siber.

Berbagai sosial media tiba-tiba berperan sebagai alat untuk mengekspresikan pandangan pribadi, tanpa melihat latar belakang dan pengalaman dalam politik. 

Salah satu fenomena yang muncul dari perubahan ini adalah keberadaan influencer sebagai aktor demokrasi. Influencer berperan penting dalam membentuk opini publik dan memobilisasi aksi kolektif. 

Esai ini mencoba mengeksplorasi peran influencer dalam konteks demokrasi digital. Fokus perhatian pada munculnya gerakan #KawalPutusanMK di Indonesia.

Influencer, yang didefinisikan sebagai individu dengan kemampuan untuk memengaruhi keputusan pembelian atau opini pengikut mereka melalui media sosial (Freberg et al., 2011), kini telah memperluas pengaruh mereka ke ranah politik. 

Dalam konteks politik, influencer dapat memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi, membingkai isu-isu, dan memobilisasi dukungan untuk berbagai tujuan politik.

Gerakan #KawalPutusanMK di Indonesia menjadi contoh menarik tentang bagaimana influencer dapat berkontribusi pada proses demokrasi digital. Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pemilu, khususnya pilkada mendatang. 

Melalui hashtag #KawalPutusanMK, para aktivis digital dan influencer berkolaborasi untuk mengawasi dan menganalisis putusan MK, serta menyebarkan informasi kepada publik.

Gerakan semacam ini mencerminkan "bentuk baru aktivisme digital yang menggabungkan keahlian teknologi dengan kesadaran politik" (Lim, 2017). Influencer, dengan basis pengikut yang luas dan kemampuan mereka untuk menyederhanakan informasi kompleks, menjadi aktor kunci dalam menyebarkan pemahaman tentang proses hukum yang rumit kepada audiens yang lebih luas.

Dok rumahpemilu.org
Dok rumahpemilu.org

Tantangan

Namun, peran influencer dalam demokrasi digital juga membawa implikasi dan tantangan yang perlu diperhatikan. Pertama, ada risiko penyederhanaan berlebihan terhadap isu-isu kompleks. Media sosial cenderung mendorong polarisasi dan menyederhanakan debat politik yang kompleks menjadi slogan-slogan singkat" (Mounk, 2018, p. 145). 

Meskipun upaya untuk menyederhanakan informasi hukum patut diapresiasi, ada risiko bahwa nuansa penting dari putusan MK mungkin hilang dalam proses penyederhanaan tersebut.

Kedua, ada kekhawatiran tentang akurasi informasi yang disebarkan oleh influencer. Di era post-truth, kecepatan penyebaran informasi seringkali mengalahkan akurasi" (Wardle, 2017). 

Dalam gerakan #KawalPutusanMK, meskipun banyak influencer berupaya menyebarkan informasi akurat, ada juga risiko penyebaran misinformasi atau disinformasi, baik yang disengaja maupun tidak.

Ketiga, peran influencer dalam demokrasi digital memunculkan pertanyaan tentang representasi dan legitimasi. Influencer politik seringkali tidak memiliki mandat demokratis formal, namun dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap opini publik" (Freelon, 2017, p. 1005). 

Dalam konteks #KawalPutusanMK, meskipun influencer memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi, mereka tidak selalu memiliki keahlian hukum atau mandat formal untuk menginterpretasikan putusan MK.

Manfaat

Terlepas dari tantangan-tantangan ini, peran influencer dalam demokrasi digital juga membawa potensi positif. Media sosial dan influencer dapat "mempercepat pembentukan gerakan sosial dan memfasilitasi partisipasi politik yang lebih luas (Tufekci, 2017).

Dalam kasus #KawalPutusanMK, influencer membantu meningkatkan kesadaran publik tentang proses hukum dan mendorong partisipasi warga dalam mengawasi lembaga demokrasi.

Lebih lanjut, aktivisme digital yang dipimpin oleh influencer dapat membantu menghubungkan gerakan lokal dengan jaringan global, menciptakan solidaritas transnasional.

Kecenderungan ini terlihat dalam gerakan #KawalPutusanMK, di mana hashtag tersebut tidak hanya menarik perhatian warga Indonesia, tetapi juga komunitas internasional yang peduli dengan perkembangan demokrasi di Indonesia.

Namun, untuk memaksimalkan potensi positif dan meminimalkan risiko, diperlukan pendekatan yang hati-hati dan kritis terhadap peran influencer dalam demokrasi digital. Salah satu upaya meminimalkan risiko itu adalah promosi literasi digital di masyarakat. Masyarakat perlu dibekali dengan keterampilan untuk memverifikasi informasi dan menganalisis secara kritis pesan-pesan yang disampaikan oleh influencer.

Selain itu, regulasi yang tepat juga diperlukan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas influencer dalam konteks politik. Kerangka regulasi yang mewajibkan influencer untuk mengungkapkan afiliasi politik mereka dan sumber pendanaan ketika mempromosikan konten politik" (Howard, 2020).

Dalam konteks Indonesia, penting untuk mempertimbangkan karakteristik unik lanskap media sosial dan politik negara ini. Di Indonesia, influencer media sosial seringkali memiliki keterkaitan dengan elit politik atau kepentingan bisnis tertentu (Tapsell, 2019). 

Oleh karena itu, publik perlu waspada terhadap potensi konflik kepentingan dan bias dalam informasi yang disebarkan oleh influencer. Peran influencer dalam demokrasi digital, seperti yang terlihat dalam gerakan #KawalPutusanMK di Indonesia, membawa potensi besar untuk meningkatkan partisipasi publik dan transparansi proses demokrasi. 

Namun, fenomena ini juga menghadirkan tantangan serius terkait akurasi informasi, representasi, dan potensi manipulasi opini publik. Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak: masyarakat perlu meningkatkan literasi digital mereka, platform media sosial harus lebih bertanggung jawab dalam moderasi konten, dan pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan regulasi yang seimbang untuk memastikan integritas diskursus politik di era digital.

Pada akhirnya, peran influencer dalam demokrasi digital mencerminkan transformasi yang lebih luas dalam cara masyarakat berinteraksi dengan politik di era digital. Meskipun membawa tantangan baru, fenomena ini juga membuka peluang untuk memperkuat dan memperluas partisipasi demokratis. 

Dengan pendekatan yang hati-hati dan kritis, masyarakat dapat memanfaatkan potensi positif dari peran influencer sambil memitigasi risikonya, sehingga memperkuat fondasi demokrasi di era digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun