Tantangan
Namun, peran influencer dalam demokrasi digital juga membawa implikasi dan tantangan yang perlu diperhatikan. Pertama, ada risiko penyederhanaan berlebihan terhadap isu-isu kompleks. Media sosial cenderung mendorong polarisasi dan menyederhanakan debat politik yang kompleks menjadi slogan-slogan singkat" (Mounk, 2018, p. 145).Â
Meskipun upaya untuk menyederhanakan informasi hukum patut diapresiasi, ada risiko bahwa nuansa penting dari putusan MK mungkin hilang dalam proses penyederhanaan tersebut.
Kedua, ada kekhawatiran tentang akurasi informasi yang disebarkan oleh influencer. Di era post-truth, kecepatan penyebaran informasi seringkali mengalahkan akurasi" (Wardle, 2017).Â
Dalam gerakan #KawalPutusanMK, meskipun banyak influencer berupaya menyebarkan informasi akurat, ada juga risiko penyebaran misinformasi atau disinformasi, baik yang disengaja maupun tidak.
Ketiga, peran influencer dalam demokrasi digital memunculkan pertanyaan tentang representasi dan legitimasi. Influencer politik seringkali tidak memiliki mandat demokratis formal, namun dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap opini publik" (Freelon, 2017, p. 1005).Â
Dalam konteks #KawalPutusanMK, meskipun influencer memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi, mereka tidak selalu memiliki keahlian hukum atau mandat formal untuk menginterpretasikan putusan MK.
Manfaat
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, peran influencer dalam demokrasi digital juga membawa potensi positif. Media sosial dan influencer dapat "mempercepat pembentukan gerakan sosial dan memfasilitasi partisipasi politik yang lebih luas (Tufekci, 2017).
Dalam kasus #KawalPutusanMK, influencer membantu meningkatkan kesadaran publik tentang proses hukum dan mendorong partisipasi warga dalam mengawasi lembaga demokrasi.
Lebih lanjut, aktivisme digital yang dipimpin oleh influencer dapat membantu menghubungkan gerakan lokal dengan jaringan global, menciptakan solidaritas transnasional.