Laut China Selatan, dengan perairan birunya yang membentang luas, telah menjadi panggung drama geopolitik yang semakin memanas di kawasan Asia Tenggara. Sengketa teritorial yang melibatkan China dan beberapa negara anggota ASEAN - Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei.Â
Sengketa itu tidak melulu menyangkut kedaulatan atas pulau-pulau dan terumbu karang, tetapi juga kontrol atas sumber daya alam yang melimpah dan jalur pelayaran kritis bagi perdagangan global.Â
Di tengah pusaran konflik ini, ASEAN sebagai organisasi regional menemukan dirinya dalam posisi yang semakin dilematis dan diuji. Eskalasi ketegangan dan militarisasi di wilayah ini telah memicu apa yang disebut realis sebagai "dilema keamanan".Â
Pembangunan pulau-pulau buatan dan peningkatan kehadiran militer oleh China telah mendorong negara-negara ASEAN dan Amerika Serikat untuk meningkatkan kapabilitas militer mereka sendiri. Perkembangam ini tidak dapat dielakkan telah menciptakan spiral ketidakamanan yang sulit diputus.
Perspektif realisme dalam hubungan internasional memberikan lensa yang tajam untuk memahami dinamika konflik ini. Dalam sistem internasional yang anarkis, di mana tidak ada otoritas yang lebih tinggi, negara-negara cenderung memprioritaskan keamanan nasional dan kepentingan diri sendiri.Â
China, dengan kekuatan ekonomi dan militer yang terus berkembang, mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan berdasarkan "garis sembilan-dash". Tindakan ini dapat dipahami sebagai upaya untuk memaksimalkan kekuasaan dan pengaruhnya di kawasan, sejalan dengan prinsip-prinsip realisme. Di tengah situasi yang semakin memanas ini, ASEAN berupaya memainkan peran sebagai mediator.Â
Namun, efektivitas peran tersebut semakin dipertanyakan mengingat lambatnya kemajuan dalam penyelesaian sengketa dan berlanjutnya tindakan-tindakan provokatif di lapangan.Â
ASEAN telah melakukan berbagai upaya, mulai dari memfasilitasi dialog melalui forum-forum regional, mengembangkan Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak (DoC), hingga negosiasi berkelanjutan untuk Code of Conduct (CoC) yang lebih mengikat secara hukum.
Meskipun demikian, ASEAN menghadapi berbagai tantangan dalam upayanya menengahi konflik ini. Perbedaan kepentingan dan posisi tawar di antara negara-negara anggota ASEAN sendiri mempersulit pencapaian konsensus.Â