Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kuasa Struktural Internet Melumpuhkan Sistem Jaringan Global

22 Juli 2024   00:01 Diperbarui: 22 Juli 2024   00:35 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi kembali heboh dengan pemadaman teknologi global baru-baru ini. Layanan kesehatan terganggu, sistem pembayaran tak berfungsi, dan akses layanan Microsoft tiba-tiba diblokir dan tidak berfungsi.

Negara dan masyarakat internasional seolah tidak mampu memprediksi persoalan ini. Kekuatan senjata modern dan pertahanan canggih negara seolah tidak bisa memberikan peringatan dini (early warning).

Padahal, gangguan Internet global bukan sesuatu yang baru. Aturan main global juga seolah lumpuh dan tidak mampu memberikan respon segera (immediate response).

Kemajuan teknologi Internet diyakini telah membawa perubahan signifikan dalam tatanan global. Jaringan digital yang terhubung secara masif telah menciptakan kekuatan baru yang dapat mempengaruhi stabilitas sistem internasional. 

Salah satu aspek yang menarik perhatian adalah bagaimana Internet dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk melumpuhkan sistem jaringan global. Fenomena ini tidak hanya menggambarkan transformasi teknologi, tetapi juga pergeseran paradigma dalam hubungan internasional dan keamanan global.

Menurut pakar hubungan internasional, Internet memiliki "kuasa struktural" yang dapat digunakan untuk mengubah dinamika kekuasaan global. Susan Strange, dalam karyanya "States and Markets" (1988), mengungkapkan bahwa Internet telah menciptakan "struktur" baru yang dapat mengalihkan kendali dari aktor-aktor tradisional, seperti negara-negara, ke aktor-aktor non-negara yang lebih sulit dikendalikan. 

Serangan siber

Kondisi ini membuka peluang bagi kelompok-kelompok tertentu untuk memanfaatkan kerentanan sistem jaringan global demi kepentingan mereka sendiri. Salah satu contoh nyata dari kuasa struktural Internet adalah serangan siber yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. 

Pada tahun 2007, Estonia menjadi korban serangan siber berskala besar yang melumpuhkan infrastruktur digital negara tersebut selama beberapa minggu. Serangan ini, yang diduga dilakukan oleh aktor-aktor yang terkait dengan Rusia.

Kasus itu menunjukkan bagaimana Internet dapat dimanfaatkan sebagai senjata untuk mengganggu stabilitas sistem internasional. Insiden serangan itu juga menjadi tonggak sejarah dalam evolusi peperangan siber dan menggarisbawahi kerentanan negara-negara terhadap ancaman digital.

Contoh lain yang lebih baru adalah serangan ransomware WannaCry pada tahun 2017. Serangan iti mempengaruhi lebih dari 200.000 komputer di 150 negara. Akibatnya, sistem kesehatan nasional Inggris, perusahaan telekomunikasi Spanyol Telefónica, dan banyak organisasi lainnya di seluruh dunia lumpuh (Ehrenfeld, 2017). 

Kejadian-kejadian itu mengungkapkan bagaimana serangan siber dapat memiliki dampak luas dan melintasi batas-batas negara. Serangan siber bahkan mengancam tidak hanya keamanan nasional tetapi juga kesejahteraan masyarakat global.

Perang jaringan 

Menurut John Arquilla dan David Ronfeldt dalam buku mereka "Networks and Netwars: The Future of Terror, Crime, and Militancy" (2001), serangan siber seperti ini dapat dianggap sebagai bentuk "perang informasi" atau "perang jaringan." 

Dalam perang semacam itu, aktor-aktor non-negara dapat memanfaatkan kerentanan sistem jaringan global untuk mencapai tujuan mereka, tanpa harus terlibat dalam konfrontasi fisik yang lebih tradisional. Serangan siber menjadi ancaman yang semakin sulit untuk diatasi oleh aktor-aktor negara.

Selain itu, kuasa struktural Internet juga dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi opini publik dan mengubah persepsi masyarakat global. Manuel Castells, dalam bukunya "The Rise of the Network Society" (1996), menjelaskan bahwa Internet telah menciptakan "ruang jaringan." Ruang seperti itu dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi, memobilisasi dukungan, dan mempengaruhi wacana publik (Castells, 1996). 

Ruang-ruang itu dapat digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mendiskreditkan lawan mereka, menciptakan polarisasi, dan pada akhirnya, melumpuhkan sistem jaringan global. 

Kasus interfensi Rusia dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016 adalah contoh nyata dari bagaimana kuasa struktural Internet dapat digunakan untuk mempengaruhi proses demokratis dan stabilitas politik global. 

Melalui kampanye disinformasi yang terorganisir di media sosial dan platform digital lainnya, aktor-aktor yang diduga terkait dengan pemerintah Rusia berhasil mempengaruhi opini publik dan potensial mempengaruhi hasil pemilihan (Mueller, 2019). 

Melalui kasus itu, Internet dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan "perang informasi" yang dapat mengancam integritas sistem politik dan sosial suatu negara.

Aktor non-negara

Dalam konteks ini, peran aktor-aktor non-negara, seperti perusahaan teknologi, organisasi media, dan kelompok-kelompok kepentingan, menjadi semakin penting. Mereka dapat memanfaatkan kuasa struktural Internet untuk mempengaruhi alur informasi, mengontrol narasi, dan bahkan mengganggu proses pengambilan keputusan di tingkat global (Nye, 2011). 

Perilaku aktor-aktor non-negara itu dapat berdampak signifikan pada stabilitas sistem internasional, terutama ketika kepentingan mereka bertentangan dengan kepentingan negara-negara. Contoh penting dari fenomena ini adalah skandal Cambridge Analytica yang terungkap pada tahun 2018. 

Perusahaan analisis data ini dituduh telah mengumpulkan data pribadi jutaan pengguna Facebook tanpa izin dan menggunakannya untuk memanipulasi opini publik dalam berbagai kampanye politik di seluruh dunia, termasuk Brexit dan pemilihan presiden AS 2016. 

Kasus ini menjadi contoh fenomena soal bagaimana aktor non-negara dapat memanfaatkan data dan algoritma untuk mempengaruhi proses demokratis dan stabilitas politik global.

Beberapa strategi

Untuk menghadapi tantangan ini, para pakar hubungan internasional menekankan pentingnya pengembangan strategi pertahanan siber yang komprehensif, serta peningkatan kerja sama internasional dalam menjaga keamanan siber global (Klimburg, 2017). 

Inisiatif seperti Konvensi Budapest tentang Kejahatan Siber, yang diadopsi oleh Dewan Eropa pada tahun 2001, merupakan langkah penting dalam membangun kerangka hukum internasional untuk mengatasi kejahatan siber. 

Namun, mengingat sifat transnasional dari ancaman siber, diperlukan upaya yang lebih luas dan inklusif yang melibatkan negara-negara di seluruh dunia.

Selain itu, diperlukan juga upaya untuk meningkatkan literasi digital masyarakat, sehingga mereka dapat lebih kritis dalam menyikapi informasi yang beredar di Internet. 

Program-program seperti "Digital Citizenship" yang diinisiasi oleh UNESCO bertujuan untuk membekali individu dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aman dan bertanggung jawab di dunia digital (UNESCO, 2020). 

Inisiatif multilateral itu sangat relevan untuk membangun ketahanan masyarakat global terhadap manipulasi informasi dan ancaman siber.

Pada akhirnya, kuasa struktural Internet dalam melumpuhkan sistem jaringan global merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh komunitas internasional. Pemahaman yang mendalam mengenai dinamika ini dan upaya-upaya kolektif untuk mengatasinya, akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas dan keamanan sistem internasional di era digital saat ini. 

Sebuah pndekatan partisipatif dan inklusif sangat diperlukan. Pendekatan itu melibatkan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan komunitas akademik untuk mengembangkan solusi yang efektif dan berkelanjutan.

Tantangan ini juga membuka peluang bagi reformasi tata kelola global Internet. Diperlukan kerangka kerja baru yang dapat mengakomodasi kompleksitas ancaman siber dan melindungi kepentingan semua pemangku kepentingan. 

Inisiatif seperti Internet Governance Forum (IGF) yang diprakarsai oleh PBB merupakan langkah penting dalam memfasilitasi dialog global tentang isu-isu terkait Internet, tetapi diperlukan mekanisme yang lebih kuat untuk mengimplementasikan rekomendasi dan mencapai konsensus internasional.

Dalam menghadapi era baru ini, negara-negara dan organisasi internasional perlu beradaptasi dengan cepat dan mengembangkan kapasitas untuk mengelola risiko dan peluang yang ditawarkan oleh kuasa struktural Internet. 

Hanya dengan pemahaman yang mendalam tentang dinamika ini dan kerjasama global yang erat, kita dapat memastikan bahwa Internet tetap menjadi kekuatan positif bagi kemajuan manusia, bukan alat untuk melumpuhkan sistem jaringan global

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun