Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nikel Indonesia Melawan UE: Dilema Liberalisasi dan Nasionalisme Ekonomi

4 Juli 2024   10:58 Diperbarui: 4 Juli 2024   13:29 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era globalisasi yang semakin kompleks ini, negara-negara berkembang seperti Indonesia menghadapi dilema antara liberalisasi ekonomi dan nasionalisme ekonomi. 

Kasus kebijakan nikel Indonesia menjadi contoh nyata dari tantangan ini. Kebijakan itu merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam domestik. 

Masalahnya adalah bahwa kebijakan hilirisasi nikel itu berbenturan dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas global. Kebijakan itu ditandai dengan larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 yang dipandang sebagai bentuk nasionalisme ekonomi. 

Seperti disepakati oleh Dani Rodrik (2018), nasionalisme ekonomi tidak selalu buruk. Kebijakan itu dapat menjadi katalis untuk kebijakan industri yang efektif dan pembangunan ekonomi yang inklusif. 

Dalam konteks ini, Indonesia melalui hilirisasi nikel berupaya mengubah pola ekonominya dari sekadar pengekspor bahan mentah menjadi produsen produk olahan bernilai tinggi.

Repotnya, kebijakan ini berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip liberalisasi perdagangan yang dianut oleh WTO. Selanjutnya, hilirisasi nikel itu memicu sengketa dengan Uni Eropa. 

Stiglitz (2017) mengakui aturan perdagangan global sering kali membatasi ruang kebijakan negara berkembang untuk mengejar strategi industrialisasi mereka. 

Akibatnya muncul pertanyaan tentang sejauh mana aturan perdagangan internasional dapat mengakomodasi kebutuhan pembangunan negara-negara berkembang.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang menerapkan strategi nasionalisme ekonomi dalam menghadapi tekanan liberalisasi global. China, misalnya, telah lama menerapkan kebijakan nasionalis ekonomi yang kuat melalui program "Made in China 2025". 

Wübbeke et al. (2016) menjelaskan bahwa China menggunakan berbagai instrumen kebijakan, termasuk subsidi, perlindungan pasar, dan transfer teknologi yang dipaksakan, untuk mendorong pengembangan 'juara nasional' dalam industri strategis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun