Laut China Selatan telah menjadi arena pertarungan geopolitik yang semakin intens antara Amerika Serikat (AS) dan China dalam beberapa tahun terakhir.Â
Rivalitas kedua negara adidaya ini telah mengubah pemahaman tradisional tentang kedaulatan di kawasan tersebut, menciptakan dinamika baru yang menantang tatanan internasional yang ada.Â
Esai ini akan mengeksplorasi bagaimana konsep kedaulatan berevolusi dalam konteks persaingan AS-China di Laut China Selatan, dengan fokus pada implikasi geopolitik dan strategis dari perubahan tersebut.
Kedaulatan, dalam pengertian klasik Westphalia, merujuk pada otoritas tertinggi suatu negara atas wilayah teritorialnya. Namun, dalam konteks maritim seperti Laut China Selatan, konsep ini menjadi lebih kompleks.Â
Menurut Christian Bueger (2018), kedaulatan maritim tidak hanya tentang kontrol atas wilayah, tetapi juga tentang kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan, mengamankan jalur perdagangan, dan mengelola sumber daya. Pergeseran ini menjadi semakin jelas dalam dinamika AS-China di kawasan.
China, dengan klaim nine-dash line-nya, telah memperluas interpretasi kedaulatannya jauh melampaui batas-batas tradisional. Beijing berpendapat bahwa klaim historisnya memberikan hak atas sebagian besar Laut China Selatan.Â
Pendekatan ini, yang oleh Yoshihara dan Holmes (2018) disebut sebagai kedaulatan maritim dengan karakteristik China. Konsep Kedaulatan ini menantang norma-norma yang ada dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Di sisi lain, AS, tanpa klaim teritorial langsung di kawasan, memposisikan dirinya sebagai penjaga "kebebasan navigasi" dan tatanan internasional berbasis aturan. Washington berpendapat bahwa tindakan China mengancam kedaulatan negara-negara lain dan stabilitas regional.Â
Menurut Medcalf (2020), pendekatan AS ini mencerminkan "konsepsi yang lebih luas tentang kedaulatan kolektif." AS sebagai kekuatan global memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan norma-norma internasional.
Pergeseran dalam pemahaman kedaulatan ini memiliki implikasi mendalam bagi geopolitik regional dan global. Pertama, hal ini telah mengaburkan batas-batas antara kedaulatan nasional dan kepentingan strategis internasional.Â