Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mobil Listrik China dalam Pusaran Perang Dagang dengan Uni Eropa

20 Juni 2024   21:47 Diperbarui: 21 Juni 2024   04:19 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok Gali Sesha Sai Rohith Reddy via LinkedIn

Meningkatnya ekspor mobil listrik China ke Uni Eropa (UE) ternyata telah menimbulkan masalah besar. Uni Eropa mengambil langkah yang berisiko. 

Organisasi ekonomi regional itu akan memberlakukan kebijakan yang berpotensi memantik perang dagang dengan China. UE menetapkan tambahan tarif impor mobil listrik dari China sampai dengan 38 persen. 

Selain menghadapi penolakan Beijing, sejumlah anggota UE juga menentang keputusan itu. Salah satu negara penolak itu adalah Jerman. Jerman dan China mengakui kebutuhan pasar dan bahan baku masing-masing. 

Langkah UE diambil akibat tuduhan bahwa China telah memberikan subsidi yang tidak adil kepada produsen mobil listrik mereka. Kebijakan China memungkinkan ekspor besar-besaran mobil listriknya dengan harga yang sangat rendah ke pasar Eropa. Kebijakan subsidi tersebut dianggap UE telah mengancam dan merugikan industri otomotif lokal di wilayah tersebut.

Kronologi Konflik
Perseteruan ini bermula dari penetrasi yang signifikan dari produsen BEV China ke pasar Eropa dalam beberapa tahun terakhir. Data Asosiasi Produsen Mobil Eropa (ACEA) menunjukkan bahwa antara Januari 2020 dan September 2023, pangsa pasar mereka di UE melonjak dari 4% menjadi 25%.

Sementara itu, pangsa pasar pesaing lokal turun dari 69% menjadi hampir 60%. Produsen mobil UE dianggap terganggu oleh mobil listrik asal China yang dijual dengan harga murah dan didukung oleh subsidi negara yang besar.

Sebagai tindak lanjut, pada Oktober 2023, UE telah memulai penyelidikan atas dugaan tersebut. Konon, UE mengambil tiga sampel produsen otomotif raksasa China, BYD, Geely, dan SAIC Motors, sebagai bahan investigasi.

UE kemudian mengirim kuesioner yang sangat mendetail kepada ketiga perusahaan tersebut. Dengan cara itu, UE menuntut akses terhadap informasi keuangan dan rincian tingkat forensik atas setiap subsidi dan stimulus yang diberikan pemerintah China. 

Proses ini memicu gesekan diplomatik yang cukup besar. China sangat terganggu oleh penyelidikan diskriminatif dan tindakan satu pihak dari Uni Eropa. Otoritas China menganggap tindakan UE dapat menghancurkan iklim investasi yang sehat dan merusak kepercayaan dan hubungan antara kedua pihak.

Meskipun BYD dan Geely mematuhi permintaan UE, namun SAIC Motors menolak untuk mengisi kuesioner tersebut. Penolakan itu terkait dengan potensi pembukaan data keuangan yang diminta dapat mengancam keamanan informasi bisnis perusahaan dan kepentingan nasional China.

Akibatnya, pada 14 Juni 2024, UE secara resmi mengenakan tarif tambahan sebesar 38,1% pada  mobil listrik impor dari SAIC Motors. Sementara itu, BYD dikenakan tarif 17,4%, dan Geely dikenakan tarif 20% [2]. Dengan adanya tarif impor tambahan ini, BEV asal China di Eropa kini terkena pajak hingga 48%.

Reaksi China
Pemerintah China mengecam keras langkah UE ini. Melalui kecaman itu, UE diminta mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut. 

Pemerintah China juga mengingat kerja sama dagang merupakan hal penting bagi dua kekuatan ekonomi besar. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, bahkan memperingatkan bahwa langkah UE ini dapat menjadi bumerang bagi Eropa sendiri. 

China bahkan mempertimbangkan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menjaga hak dan kepentingan sahnya. UE diharapkan mempertimbangkan kembali konsekuensi dari tindakan provokatif mereka.

Menurut Steven Redding, seorang pakar ekonomi global dari University of Chicago, konflik dagang antara UE dan China merupakan manifestasi dari persaingan ekonomi dan geopolitik yang semakin meningkat antara kedua kekuatan besar ini. Perang dagang sesungguhnya adalah ekspresi dari pergolakan kekuatan antar negara dalam perebutan pengaruh ekonomi dan teknologi global.

Dalam konteks yang lebih luas, tindakan UE tidak dapat dilepaskan dari praktik-praktik konflik atau perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Mereka tampaknya khawatir dengan kemajuan ekonomi China yang menembus batas-batas ekonomi AS dan UE.

Kita bisa mengingat kembali kekawatiran Uni Eropa dan AS terhadap bantuan kesehatan China (dan Rusia) kepada Italia pada masa pandemi Covid-19. Selain itu, produk-produk China mulai mengancam produsen domestik di UE dan AS.

Pelajaran bagi Indonesia
Konflik dagang antara China dan UE ini sangat menarik untuk dipelajari, khususnya Indonesia. Pada saat ini, Indonesia sedang menghadapi konflik dagang dengan UE juga. 

Kelapa sawit dan nikel merupakan dua komoditas Indonesia yang dipersoalkan UE. Indonesia menolak permintaan impor nikel mentah. Sebaliknya, UE menolak ekspor kelapa sawit Indonesia.

Masing-masing pihak berargumen bahwa tindakan atau kebijakan itu demi melindungi produsen dan memaksimalkan keuntungan domestik, misalnya devisa. Kalaupun tidak dinyatakan secara langsung, kebijakan semacam ini sebenarnya mirip dengan nasionalisme ekonomi.

Strategi diplomasi ekonomi dan perdagangan China perlu dilihat dalam menghadapi hambatan impor dari UE. Pada saat ini, mobil-mobil listrik China sudah dikenakan tarif impor atau rente 10 persen. Tarif baru itu nanti ditambahkan di atas tarif yang telah diterapkan. 

Walaupun tinggi, nilai rente UE itu ternyata masih jauh lebih rendah dari di AS. Negara Paman Sam itu menetapkan tarif impor 100 persen untuk mobil listrik China.

Hingga saat ini, mobil-mobil listrik China masih bertumpu di pelabuhan-pelabuhan negara anggota UE. Belum ada kabar tentang jalan keluar yang hendak disepakati kedua pihak.

Potensi bagi jalan tengah antara UE dan China sangat diperlukan agar perang dagang tidak terjadi. Kenyataan bahwa kedua pihak membutuhkan pasar untuk produk otomotif masing-masing bisa menjadi pertimbangan. 

Jika tidak, kenaikan tarif bea masuk untuk produk tertentu, termasuk produk otomotif asal China, bisa dibalas dengan tindakan serupa oleh Beijing. Resiprositas menjadi salah satu prinsip penting dalam diplomasi ekonomi selama ini.

Indonesia bisa belajar dari China dalam menghadapi tekanan-tekanan perdagangan. Memang ada perbedaan bargaining position antara Indonesia dengan China di hadapan negara-negara besar, seperti AS dan UE. Namun, kepemilikan sumber daya alam dan pasar domestik dapat menjadi faktor signifikan dalam diplomasi perdagangan global pada saat ini.

Referensi:
1. CNBC Indonesia. (2024). Kronologi Eropa Tabuh Genderang Perang ke China, https://www.cnbcindonesia.com/news/20240614160316-4-546741/kronologi-eropa-tabuh-genderang-perang-ke-china-ini-penyebabnya

2. CNBC Indonesia. (2024). Eropa Resmi Tabuh Genderang Perang ke China, https://www.cnbcindonesia.com/news/20240613172503-4-546450/eropa-resmi-tabuh-genderang-perang-ke-china-apa-kata-xi-jinping

3. Kompas. (2024). Sulit Bersaing, Uni Eropa Ganjal Mobil Listrik China dengan Tambahan Tarif 38 Persen, https://www.kompas.id/baca/internasional/2024/06/13/uni-eropa-tetapkan-tambahan-tarif-impor-mobil-listrik-china-hingga-38-persen

4. Kompas. (2024). China dan Uni Eropa Cari Jalan Tengah Soal Kendaraan Listrik, https://www.kompas.id/baca/internasional/2024/05/30/china-dan-uni-eropa-cari-jalan-tengah-soal-kendaraan-listrik?open_from=Tagar_Page

5. CNBC Indonesia. (2024) .Meletus Perang Baru Eropa VS China, Ini Dampaknya ke RI https://www.cnbcindonesia.com/news/20240614072021-4-546528/meletus-perang-baru-eropa-vs-china-ini-dampaknya-ke-ri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun