Akibatnya, pada 14 Juni 2024, UE secara resmi mengenakan tarif tambahan sebesar 38,1% pada  mobil listrik impor dari SAIC Motors. Sementara itu, BYD dikenakan tarif 17,4%, dan Geely dikenakan tarif 20% [2]. Dengan adanya tarif impor tambahan ini, BEV asal China di Eropa kini terkena pajak hingga 48%.
Reaksi China
Pemerintah China mengecam keras langkah UE ini. Melalui kecaman itu, UE diminta mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.Â
Pemerintah China juga mengingat kerja sama dagang merupakan hal penting bagi dua kekuatan ekonomi besar. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, bahkan memperingatkan bahwa langkah UE ini dapat menjadi bumerang bagi Eropa sendiri.Â
China bahkan mempertimbangkan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menjaga hak dan kepentingan sahnya. UE diharapkan mempertimbangkan kembali konsekuensi dari tindakan provokatif mereka.
Menurut Steven Redding, seorang pakar ekonomi global dari University of Chicago, konflik dagang antara UE dan China merupakan manifestasi dari persaingan ekonomi dan geopolitik yang semakin meningkat antara kedua kekuatan besar ini. Perang dagang sesungguhnya adalah ekspresi dari pergolakan kekuatan antar negara dalam perebutan pengaruh ekonomi dan teknologi global.
Dalam konteks yang lebih luas, tindakan UE tidak dapat dilepaskan dari praktik-praktik konflik atau perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Mereka tampaknya khawatir dengan kemajuan ekonomi China yang menembus batas-batas ekonomi AS dan UE.
Kita bisa mengingat kembali kekawatiran Uni Eropa dan AS terhadap bantuan kesehatan China (dan Rusia) kepada Italia pada masa pandemi Covid-19. Selain itu, produk-produk China mulai mengancam produsen domestik di UE dan AS.
Pelajaran bagi Indonesia
Konflik dagang antara China dan UE ini sangat menarik untuk dipelajari, khususnya Indonesia. Pada saat ini, Indonesia sedang menghadapi konflik dagang dengan UE juga.Â
Kelapa sawit dan nikel merupakan dua komoditas Indonesia yang dipersoalkan UE. Indonesia menolak permintaan impor nikel mentah. Sebaliknya, UE menolak ekspor kelapa sawit Indonesia.
Masing-masing pihak berargumen bahwa tindakan atau kebijakan itu demi melindungi produsen dan memaksimalkan keuntungan domestik, misalnya devisa. Kalaupun tidak dinyatakan secara langsung, kebijakan semacam ini sebenarnya mirip dengan nasionalisme ekonomi.
Strategi diplomasi ekonomi dan perdagangan China perlu dilihat dalam menghadapi hambatan impor dari UE. Pada saat ini, mobil-mobil listrik China sudah dikenakan tarif impor atau rente 10 persen. Tarif baru itu nanti ditambahkan di atas tarif yang telah diterapkan.Â