Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Melihat Persepsi Negara-Negara di Asia Tenggara terhadap China

18 Juni 2024   21:58 Diperbarui: 19 Juni 2024   07:34 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dampak hubungan Amerika Serikat-China terhadap negara ASEAN (Sumber gambar: LSE IDEAS via aseanvietnam.vn)

Insiden tabrakan kapal Filipina-China di Laut China Selatan (LCS) dan provokasi kapal-kapal coast guard China lainnya di kawasan itu menjadi faktor menentukan bagi persepsi negara-negara di Asia Tenggara terhadap China.

Laporan tahunan State of Southeast Asia (SSEA) yang dirilis oleh Institute of South East Asian Studies (ISEAS) -- Yusof Ishak Institute di Singapura memberikan gambaran menarik mengenai persepsi dan pilihan kebijakan negara-negara di Asia Tenggara terhadap China.

Temuan survei 2024 menunjukkan pergeseran yang signifikan. Jika dipaksa memilih, mayoritas tipis responden lebih memilih ASEAN menjalin kedekatan dengan China ketimbang Amerika Serikat (AS).

Meski demikian, tren data multi-tahun mengungkapkan bahwa alasan di balik pilihan tersebut bukanlah kecintaan terhadap China, melainkan lebih kepada kecemasan akan kekuatan yang dimiliki China.

Alasan itu sangat berbeda dengan pertimbangan negara-negara di kawasan ini lebih mendekati AS atau Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Perlindungan keamanan dan, sekaligus, bantuan ekonomi menjadi alasan umum ketika itu.


Kekuatan China

China konsisten dipandang oleh negara-negara di Asia Tenggara sebagai kekuatan ekonomi, politik, dan strategis terkemuka di kawasan. Pertumbuhan ekonomi dan penguatan kapasitas militer China selalu menjadi perhatian negara-negara di kawasan ini. 

Namun demikian, preferensi kepemimpinan China dalam menjunjung perdagangan bebas, tata kelola berbasis aturan internasional, dan penegakan hukum internasional justru rendah. Akibatnya, China dipandang AS dan sekutunya sebagai salah satu negara yang tidak mematuhi tatanan liberal global selama ini.

Persepsi itu, lebih lanjut, membuat hanya sebagian kecil responden mempercayai China untuk memimpin agenda perdagangan bebas global. Sementara itu, responden memandang AS, Uni Eropa, Jepang, dan ASEAN lebih layak.

Kecenderungan rendahnya persepsi itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru.

Ketidakpercayaan terhadap komitmen China untuk menerapkan kata-katanya ke dalam tindakan tampaknya menjadi akar persoalan. 

Contohnya, China menolak untuk terlibat dalam proses penyelesaian sengketa Konvensi Hukum Laut PBB yang pada 2016 mengabulkan klaim sembilan garis putus-putus di Laut China Selatan sebagai tidak sah.

Selain itu, respons terhadap pernyataan Menteri Pertahanan China di KTT Shangri-La 2024 mencerminkan keraguan akan konsistensi antara retorika damai China dan tindakan agresinya di Laut China Selatan.

Contoh lainnya adalah ketidakjelasan komitmen China di meja perundingan dengan ASEAN mengenai Declaration of Conduct (DoC) dan Code of Conduct (CoC) dapat ditelusuri sejak 2002. Kalaupun ada, sebaliknya, perilaku angkatan laut atau kapal nelayan China di Laut China Selatan justru memancing konflik bersenjata.

Faktor Ketakutan

Data survei mengungkap adanya kekhawatiran bahwa kekuatan ekonomi dan militer China dapat digunakan untuk mengancam kedaulatan dan kepentingan negara-negara di kawasan. 

Mayoritas responden di setiap negara ASEAN, kecuali Laos, tidak yakin China akan "berbuat hal yang benar" dalam berkontribusi pada perdamaian, keamanan, kemakmuran, dan tata kelola global.

Alasan utama ketidakpercayaan ini adalah bahwa kekuatan China berpotensi mengancam kedaulatan dan kepentingan negara bersangkutan.

Meskipun begitu, ada keinginan yang nyata dari negara-negara ASEAN untuk menjaga perdamaian dengan China. Mayoritas responden di 7 dari 10 negara ASEAN mengharapkan hubungan bilateral dengan China akan membaik dalam beberapa tahun mendatang.

Hanya responden dari Filipina yang memperkirakan hubungan akan memburuk. Sedangkan responden Singapura dan Myanmar memperkirakan tidak akan ada perubahan signifikan dalam hubungan bilateral.

Meningkatkan Hubungan

Ketika ditanya langkah-langkah yang dapat diambil China untuk meningkatkan hubungan dengan negara-negara di kawasan, ada konsensus yang jelas adalah China harus menyelesaikan sengketa wilayah maritim secara damai dan sesuai dengan hukum internasional.

Selain itu, negara-negara itu juga menuntut China menghormati kedaulatan dan kemandirian negara-negara kecil. Isu ini menjadi perhatian, khususnya di negara-negara yang telah lama memiliki hubungan sejarah kedekatan dengan China. Negara-negara Indo-China, seperti Vietnam, Myanmar, Laos, dan Kamboja memiliki kedekatan khusus dengan China.

Responden juga menekankan pentingnya hubungan perdagangan yang benar-benar saling menguntungkan dengan mengatasi ketimpangan defisit. Faktor ini tampaknya didorong oleh inisiatif China membentuk blok perdagangan di Indo-Pasifik, tanpa AS, yaitu Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). 

Preferensi terhadap China atau AS

Temuan survei 2024 yang menunjukkan preferensi tipis untuk menjalin kedekatan dengan China daripada AS perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas. 

Tren penurunan kepercayaan terhadap kepemimpinan AS di kawasan, dipicu oleh polarisasi politik dalam negeri AS dan kekhawatiran bahwa Washington terlalu terfokus pada prioritas geopolitik lain, seperti perang Ukraina.

Namun demikian, ketika ditanya soal kepercayaan pada upaya menjaga tata kelola berbasis aturan internasional, AS masih jauh lebih dipercaya daripada China.

Selain itu, ada perbedaan signifikan dalam level dukungan untuk menjalin kedekatan dengan China di antara negara-negara Muslim ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei.

Sekitar 70 persen atau lebih responden di tiga negara ini lebih memilih ASEAN menjalin kedekatan dengan China, didorong oleh faktor-faktor seperti hubungan ekonomi yang semakin erat dengan China. Keinginan mendekat ke China juga ditimbulkan oleh perasaan AS yang dipicu oleh persepsi bahwa AS berpihak pada Israel dalam konflik Palestina-Israel.

Yang menarik adalah bahwa alasan di balik preferensi tersebut ke China bukanlah "kecintaan" terhadap China, tetap lebih kepada erosi kepercayaan pada kepemimpinan AS dan keinginan untuk 'menjaga perdamaian' dengan China yang semakin berkuasa.

Aspek menarik lainnya adalah persepsi negara-negara Asia Tenggara terhadap China cenderung ambigu. Di satu sisi, China dipandang sebagai kekuatan ekonomi, politik, dan strategis terkemuka di kawasan.

Namun di sisi lain, ada kekhawatiran mendalam soal bagaimana China akan menggunakan kekuatannya, ditambah dengan ketidakpercayaan akan komitmen China untuk menerjemahkan kata-kata ke dalam tindakan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong China meningkatkan kredibilitas globalnya. Salah satunya adalah mendorong China menunjukkan kepemimpinannya secara global dan regional di berbagai perundingan dan pertemuan diolomatik. 

Melalui peran itu, China diharapkan dapat menunjukkan komitmen nyata dalam menyelesaikan sengketa wilayah maritim secara damai sesuai hukum internasional, menghormati kedaulatan, dan kemandirian negara-negara lain.

Meski tidak mudah dan masih memerlukan waktu, langkah-langkah ini akan membantu meredakan kekhawatiran di kawasan dan meningkatkan kepercayaan terhadap China sebagai kekuatan yang bertanggung jawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun