Ketidakpercayaan terhadap komitmen China untuk menerapkan kata-katanya ke dalam tindakan tampaknya menjadi akar persoalan.Â
Contohnya, China menolak untuk terlibat dalam proses penyelesaian sengketa Konvensi Hukum Laut PBB yang pada 2016 mengabulkan klaim sembilan garis putus-putus di Laut China Selatan sebagai tidak sah.
Selain itu, respons terhadap pernyataan Menteri Pertahanan China di KTT Shangri-La 2024 mencerminkan keraguan akan konsistensi antara retorika damai China dan tindakan agresinya di Laut China Selatan.
Contoh lainnya adalah ketidakjelasan komitmen China di meja perundingan dengan ASEAN mengenai Declaration of Conduct (DoC) dan Code of Conduct (CoC) dapat ditelusuri sejak 2002. Kalaupun ada, sebaliknya, perilaku angkatan laut atau kapal nelayan China di Laut China Selatan justru memancing konflik bersenjata.
Faktor Ketakutan
Data survei mengungkap adanya kekhawatiran bahwa kekuatan ekonomi dan militer China dapat digunakan untuk mengancam kedaulatan dan kepentingan negara-negara di kawasan.Â
Mayoritas responden di setiap negara ASEAN, kecuali Laos, tidak yakin China akan "berbuat hal yang benar" dalam berkontribusi pada perdamaian, keamanan, kemakmuran, dan tata kelola global.
Alasan utama ketidakpercayaan ini adalah bahwa kekuatan China berpotensi mengancam kedaulatan dan kepentingan negara bersangkutan.
Meskipun begitu, ada keinginan yang nyata dari negara-negara ASEAN untuk menjaga perdamaian dengan China. Mayoritas responden di 7 dari 10 negara ASEAN mengharapkan hubungan bilateral dengan China akan membaik dalam beberapa tahun mendatang.
Hanya responden dari Filipina yang memperkirakan hubungan akan memburuk. Sedangkan responden Singapura dan Myanmar memperkirakan tidak akan ada perubahan signifikan dalam hubungan bilateral.
Meningkatkan Hubungan