Dalam upaya mewujudkan transisi energi yang adil dan berkelanjutan, diplomasi energi memainkan peran penting dalam memfasilitasi kerjasama internasional dan menjembatani kepentingan berbagai negara.
Namun, seringkali suara dan keterlibatan perempuan dalam forum-forum diplomasi energi masih terbatas. Tantangan budaya dan sosial yang mengakar kuat seringkali menjadi penghambat bagi partisipasi perempuan dalam ranah ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Energi Berkelanjutan Internasional (ISEO) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya 23% dari delegasi negara-negara anggota yang hadir dalam Konferensi Energi Berkelanjutan PBB adalah perempuan (ISEO, 2022). Angka ini mencerminkan kesenjangan gender yang signifikan dalam diplomasi energi global.
Masalah
Salah satu tantangan utama yang dihadapi perempuan dalam diplomasi energi adalah stereotip gender yang masih melekat kuat dalam masyarakat. Sektor energi masih dianggap sebagai domain laki-laki, dan perempuan yang terlibat di dalamnya seringkali harus menghadapi prasangka dan diskriminasi.
Stereotip semacam ini dapat membatasi peluang bagi perempuan untuk meraih posisi kepemimpinan dalam organisasi-organisasi energi global dan menjadi penghambat bagi partisipasi mereka dalam forum-forum diplomasi energi. Hal ini pada akhirnya dapat membatasi perspektif dan solusi yang dipertimbangkan dalam upaya mewujudkan transisi energi yang inklusif.
Selain itu, hambatan budaya seperti norma-norma sosial dan ekspektasi gender tradisional juga dapat menjadi tantangan bagi perempuan yang ingin berpartisipasi dalam diplomasi energi. Dalam banyak budaya, perempuan masih diharapkan untuk mengutamakan peran domestik dan pengasuhan anak, yang dapat menjadi kendala bagi keterlibatan mereka dalam forum-forum internasional (Rosario, 2022).
Tantangan ini semakin diperparah oleh kurangnya role model dan mentor perempuan dalam sektor energi dan diplomasi. Â Laporan dari Pusat Studi Energi Berkelanjutan di Universitas Cambridge (2021) mengungkapkan kurangnya figur perempuan yang sukses dalam bidang ini dapat mengurangi motivasi dan kepercayaan diri perempuan muda untuk terlibat dalam diplomasi energi.
Beberapa Strategi
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan upaya sistematis dan kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan. Pertama, pemerintah dan organisasi-organisasi energi global perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk mempromosikan kesetaraan gender dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam diplomasi energi.
Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah menetapkan kuota keterwakilan perempuan dalam delegasi-delegasi yang dikirim ke forum-forum diplomasi energi. Langkah ini telah diambil oleh Uni Eropa, yang menetapkan target 40% keterwakilan perempuan dalam delegasi energi dan iklim mereka (Komisi Eropa, 2020). Upaya semacam ini dapat membantu mengatasi bias gender dalam diplomasi energi dan memberikan peluang yang lebih besar bagi suara perempuan untuk didengar.
Selain itu, organisasi-organisasi energi global perlu berinvestasi dalam program mentoring dan pengembangan kepemimpinan bagi perempuan. Mentoring dan pelatihan khusus untuk perempuan dapat membantu meningkatkan keterampilan negosiasi, advokasi, dan kepemimpinan mereka dalam ranah diplomasi energi (Jahangir, 2023).
Lembaga-lembaga pendidikan juga memainkan peran penting dalam mengatasi tantangan budaya dan sosial ini. Mereka dapat berkontribusi dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum dan program studi terkait energi, serta mendorong partisipasi perempuan dalam bidang-bidang ini sejak dini.
Dengan memperkenalkan isu-isu energi dan diplomasi kepada mahasiswi sejak awal, lembaga-lembaga itu dapat menginspirasi dan mempersiapkan mereka untuk terlibat dalam upaya-upaya transisi energi global (Marquez, 2022).
Di samping itu, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan kelompok advokasi perempuan juga memiliki peran penting dalam mengkampanyekan partisipasi perempuan dalam diplomasi energi. Mereka dapat menjadi suara bagi perempuan dan mendorong perubahan kebijakan yang lebih inklusif.
Pada 2016, sekitar 190 pihak telah menandatangani Paris Agreement sebagai wujud kerja sama mengantisipasi perubahan iklim. Mereka juga mendorong investasi untuk pembangunan rendah karbon yang berkelanjutan. Sebagai salah satu pihak, Indonesia berkomitmen yang kuat dalam memerangi perubahan iklim dengan secara bertahap.
Oxfam, misalnya, menegaskan urgensi transisi energi adil. Lebih lanjut, Oxfam mengharapkan masyarakat ---khususnya perempuan--- mendapatkan kompensasi yang adil atas kerugian yang diakibatkan oleh proyek-proyek energi atau kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim.
Direktur Eksekutif Jaringan Perempuan untuk Energi Berkelanjutan (WeSENet), Maria Gonzalez (2023) menjelaskan upaya mendorong organisasi-organisasi energi internasional untuk memprioritaskan kesetaraan gender dan melibatkan lebih banyak perempuan dalam proses pengambilan keputusan terkait energi.
Mengatasi tantangan budaya dan sosial yang menghalangi partisipasi perempuan dalam diplomasi energi global bukanlah tugas yang mudah. Namun, upaya ini sangat penting untuk memastikan bahwa transisi energi yang kita upayakan benar-benar inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Dengan melibatkan perspektif dan suara perempuan dalam diplomasi energi, kita dapat memastikan bahwa kebutuhan dan prioritas seluruh lapisan masyarakat (termasuk perempuan) dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan. Hanya dengan demikian, kita dapat mencapai transisi energi yang benar-benar transformatif dan membawa manfaat bagi semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H