Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kontroversi "Asian Values" dan Perannya dalam Pembangunan Ekonomi di Asia

13 Juni 2024   00:03 Diperbarui: 13 Juni 2024   09:05 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lee Kuan Yew, mendiang Perdana Menteri Singapura, acapkali mengaitkan keberhasilan negaranya dengan warisan budaya Konfusianisme yang menekankan stabilitas, disiplin, dan pragmatisme. 

Pemerintah Singapura dikenal efektif dalam mengimplementasikan kebijakan pro-pertumbuhan seperti perencanaan industri strategis, pengembangan infrastruktur, dan investasi di bidang pendidikan dan pelatihan.

Konsep Asian values sering dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan ekonomi di Asia Timur, khususnya di negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. 

Para pendukung gagasan ini berpendapat bahwa nilai-nilai khas Asia seperti kerja keras, penghematan, penekanan pada pendidikan, loyalitas pada keluarga dan negara, serta prioritas pada kepentingan kolektif di atas individu, telah menjadi fondasi bagi kemajuan ekonomi yang mengesankan di kawasan tersebut (Hofstede & Bond, 1988).

Singapura, di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, adalah salah satu contoh yang paling sering dikutip. Lee berpendapat bahwa nilai-nilai Konfusianisme seperti kebajikan, keharmonisan sosial, dan penghormatan pada otoritas, telah memungkinkan Singapura untuk membangun konsensus nasional, menjaga stabilitas politik, dan mengerahkan energi kolektif untuk pembangunan ekonomi. 

Lee juga menekankan etos kerja yang kuat, disiplin sosial, dan sistem meritokrasi sebagai kunci keberhasilan Singapura. Argumen serupa juga diterapkan pada negara-negara Asia Timur lainnya. Jepang dan Korea Selatan, misalnya, sering dikaitkan dengan budaya kerja keras, loyalitas korporat, dan penekanan pada harmoni kelompok, yang dianggap telah mendorong pertumbuhan industri dan inovasi teknologi mereka (Landes, 1998). 

Lalu, Taiwan dan Hong Kong juga dikaitkan dengan nilai-nilai seperti kewirausahaan, kehematan, dan investasi dalam pendidikan, yang dipandang sebagai pendorong kemakmuran ekonomi mereka.

Namun, konsep Asian values sebagai penjelas tunggal keberhasilan ekonomi Asia Timur juga menuai kritik. Amartya Sen (1999) berargumen bahwa narasi ini mengabaikan keragaman budaya dan politik di Asia, serta peran faktor-faktor lain seperti kebijakan industri, investasi asing, dan kondisi geopolitik. Ia juga memperingatkan bahwa konsep ini dapat digunakan untuk membenarkan otoritarianisme dan mengekang kebebasan individu.

Meski demikian, gagasan Asian values tetap berpengaruh dalam wacana pembangunan di Asia. Banyak pemimpin politik di kawasan ini masih merujuk pada nilai-nilai Asia sebagai keunggulan komparatif dan sumber ketahanan budaya (Thompson, 2001). Namun, di era globalisasi dan perubahan sosial yang pesat, relevansi dan keberlanjutan konsep ini terus menjadi bahan perdebatan.

Keberhasilan ekonomi Asia Timur bagaimanapun juga tidak dapat direduksi menjadi produk dari satu set nilai budaya yang homogen. Keberhasilan itu adalah hasil interaksi yang rumit antara faktor-faktor budaya, politik, ekonomi, dan global. 

Meski nilai-nilai Asia mungkin telah memainkan peran dalam membentuk etos dan praktik pembangunan di kawasan tersebut, namun nilai-nilai itu juga bukannyq tanpa kritik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun