Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anatomi Konflik Laut China Selatan dan Kedaulatan Indonesia

17 Mei 2024   13:22 Diperbarui: 28 Mei 2024   17:37 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRrneXawvu818Lqt9JtPCdKlvDx5xvKczQuAw&usqp=CAU

Laut China Selatan merupakan salah satu kawasan paling strategis dan sarat konflik di dunia. Sengketa wilayah yang melibatkan beberapa negara di sekitarnya, seperti China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam, telah berlangsung selama beberapa dekade. 

Akar permasalahan konflik ini bersifat multidimensi, mulai dari aspek historis, hukum internasional, geopolitik, hingga sumber daya alam. Bagi Indonesia, meskipun secara resmi bukan negara penuntut (non-claimant state), dinamika konflik Laut China Selatan memiliki implikasi signifikan bagi kepentingan dan kedaulatan nasionalnya.

Akar Masalah

Salah satu akar utama konflik Laut China Selatan adalah tumpang tindihnya klaim wilayah oleh negara-negara di sekitarnya. China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan berdasarkan "nine-dash line" yang merujuk pada peta dari masa Republik Tiongkok tahun 1947 (Schofield, 2016). 

Sementara itu, negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei mendasarkan klaim mereka pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS), terutama menyangkut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut dari garis pangkal (Kusumaningtyas, 2018).

Selain aspek hukum, faktor geopolitik juga memainkan peran krusial. Laut China Selatan merupakan jalur pelayaran internasional yang vital, di mana sekitar sepertiga perdagangan maritim global melewatinya. Kawasan ini juga diperkirakan menyimpan cadangan minyak bumi dan gas alam yang melimpah. 

Menurut laporan U.S. Energy Information Administration (EIA), Laut China Selatan mengandung sekitar 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam (EIA, 2013). Kepentingan strategis ini menjadikan Laut China Selatan sebagai arena persaingan geopolitik antara negara-negara regional maupun kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat.

Dinamika Konflik dan Tantangan Penyelesaian

Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan di Laut China Selatan semakin meningkat seiring dengan agresivitas China dalam mengubah status quo. China secara masif melakukan reklamasi dan pembangunan pangkalan militer di pulau-pulau yang disengketakan, seperti di Kepulauan Spratly dan Paracel. 

Laporan Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI) mencatat bahwa China telah membangun infrastruktur militer di tujuh titik di Laut China Selatan, lengkap dengan landasan pacu, pelabuhan, dan fasilitas radar (AMTI, 2020).

Tindakan China ini memicu reaksi keras dari negara-negara penuntut lain serta kecaman dari komunitas internasional. Pada tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag memutuskan bahwa klaim "nine-dash line" China tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan UNCLOS. 

Namun, China menolak untuk mematuhi keputusan tersebut. Ketegangan semakin memanas dengan peningkatan aktivitas militer di kawasan, baik oleh negara-negara penuntut maupun kekuatan eksternal seperti AS yang kerap melakukan operasi kebebasan navigasi (FONOP).

Upaya penyelesaian konflik Laut China Selatan menghadapi berbagai tantangan. Rivalitas strategis antara AS dan China membuat dinamika konflik semakin kompleks. Sementara itu, mekanisme regional seperti ASEAN belum sepenuhnya efektif dalam memoderasi konflik, terlebih dengan adanya perpecahan di antara negara-negara anggotanya. 

Meski telah ada Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) sejak 2002, implementasinya masih terbatas. Negosiasi Code of Conduct (COC) yang diharapkan dapat menjadi panduan pengelolaan konflik juga belum mencapai kemajuan signifikan (Alagappa, 2020).

Implikasi 

Meskipun bukan negara penuntut, Indonesia memiliki kepentingan nasional yang vital di Laut China Selatan, terutama menyangkut kedaulatan dan hak berdaulat. Klaim tumpang tindih China dengan ZEE Indonesia di perairan sekitar Kepulauan Natuna menjadi potensi ancaman serius. 

Insiden berulangnya pelanggaran kedaulatan oleh kapal-kapal China di Laut Natuna Utara, termasuk pengawalan kapal nelayan ilegal oleh Coast Guard China, meningkatkan risiko konflik terbuka.

Untuk menegakkan kedaulatan, Indonesia telah mengambil langkah-langkah tegas, seperti meningkatkan patroli dan latihan militer di Natuna, memperkuat kehadiran dan kapabilitas maritim, serta secara konsisten melakukan protes diplomatik atas pelanggaran yang dilakukan China. 

Pada saat yang sama, Indonesia juga berupaya memainkan peran konstruktif dalam mendorong penyelesaian damai melalui dialog dan kerja sama, baik secara bilateral, regional, maupun internasional.

Namun, situasi di Laut China Selatan yang dinamis dan ketidakpastian jangka panjang mengharuskan Indonesia untuk terus waspada dan adaptif dalam melindungi kepentingan nasionalnya. Indonesia perlu memperkuat strategi penangkalan, diplomasi, dan kerja sama internasional untuk menghadapi potensi ancaman di Laut China Selatan. 

Penguatan kapabilitas pertahanan, peningkatan diplomasi maritim, dan optimalisasi kerja sama Indonesia dengan negara-negara sekutu dan mitra strategis menjadi kunci dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas kawasan.

Konflik Laut China Selatan merupakan salah satu tantangan geopolitik paling kompleks di abad ke-21. Persinggungan kepentingan negara-negara penuntut, rivalitas kekuatan besar, serta ketidakpastian hukum internasional menjadikan penyelesaian konflik ini rumit dan berliku. 

Bagi Indonesia, meski bukan claimant state, menjaga kedaulatan nasional dan stabilitas kawasan di tengah dinamika Laut China Selatan merupakan imperatif strategis yang menuntut kewaspadaan, ketegasan, sekaligus kepemimpinan dan kearifan diplomatik. 

Dengan pendekatan yang komprehensif dan strategis, Indonesia dapat terus berkontribusi dalam mewujudkan Laut China Selatan sebagai kawasan damai, stabil, dan sejahtera.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun