Tindakan China ini memicu reaksi keras dari negara-negara penuntut lain serta kecaman dari komunitas internasional. Pada tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag memutuskan bahwa klaim "nine-dash line" China tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan UNCLOS.Â
Namun, China menolak untuk mematuhi keputusan tersebut. Ketegangan semakin memanas dengan peningkatan aktivitas militer di kawasan, baik oleh negara-negara penuntut maupun kekuatan eksternal seperti AS yang kerap melakukan operasi kebebasan navigasi (FONOP).
Upaya penyelesaian konflik Laut China Selatan menghadapi berbagai tantangan. Rivalitas strategis antara AS dan China membuat dinamika konflik semakin kompleks. Sementara itu, mekanisme regional seperti ASEAN belum sepenuhnya efektif dalam memoderasi konflik, terlebih dengan adanya perpecahan di antara negara-negara anggotanya.Â
Meski telah ada Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) sejak 2002, implementasinya masih terbatas. Negosiasi Code of Conduct (COC) yang diharapkan dapat menjadi panduan pengelolaan konflik juga belum mencapai kemajuan signifikan (Alagappa, 2020).
ImplikasiÂ
Meskipun bukan negara penuntut, Indonesia memiliki kepentingan nasional yang vital di Laut China Selatan, terutama menyangkut kedaulatan dan hak berdaulat. Klaim tumpang tindih China dengan ZEE Indonesia di perairan sekitar Kepulauan Natuna menjadi potensi ancaman serius.Â
Insiden berulangnya pelanggaran kedaulatan oleh kapal-kapal China di Laut Natuna Utara, termasuk pengawalan kapal nelayan ilegal oleh Coast Guard China, meningkatkan risiko konflik terbuka.
Untuk menegakkan kedaulatan, Indonesia telah mengambil langkah-langkah tegas, seperti meningkatkan patroli dan latihan militer di Natuna, memperkuat kehadiran dan kapabilitas maritim, serta secara konsisten melakukan protes diplomatik atas pelanggaran yang dilakukan China.Â
Pada saat yang sama, Indonesia juga berupaya memainkan peran konstruktif dalam mendorong penyelesaian damai melalui dialog dan kerja sama, baik secara bilateral, regional, maupun internasional.
Namun, situasi di Laut China Selatan yang dinamis dan ketidakpastian jangka panjang mengharuskan Indonesia untuk terus waspada dan adaptif dalam melindungi kepentingan nasionalnya. Indonesia perlu memperkuat strategi penangkalan, diplomasi, dan kerja sama internasional untuk menghadapi potensi ancaman di Laut China Selatan.Â
Penguatan kapabilitas pertahanan, peningkatan diplomasi maritim, dan optimalisasi kerja sama Indonesia dengan negara-negara sekutu dan mitra strategis menjadi kunci dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas kawasan.