Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Latihan Maritim Bersama: Upaya Menegakkan Tatanan Berbasis Aturan di Indo-Pasifik

9 April 2024   10:23 Diperbarui: 9 April 2024   10:23 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://internasional.republika.co.id/berita/rjg13y459/korut-menerjunkan-kapal-induk-as-di-semenanjung-korea-adalah-percikan-negatif

Wilayah Indo-Pasifik telah menjadi panggung persaingan kepentingan strategis antara kekuatan-kekuatan besar global dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China, upaya untuk menjaga kawasan ini tetap bebas dan terbuka sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional menjadi prioritas bagi negara-negara maritim utama. 

Salah satu langkah nyata untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menggelar latihan maritim bersama, seperti yang baru saja dilakukan oleh AS, Jepang, Australia, dan Filipina di Laut China Selatan (LCS) pada 7 April 2024 lalu. Latihan itu menunjukkan komitmen kolektif mereka untuk memperkuat kerja sama regional dan internasional dalam mendukung Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. 

Gabungan angkatan bersenjata/pertahanan melakukan Kegiatan Kerjasama Maritim di Zona Ekonomi Eksklusif Filipina. Latihan ini tidak hanya mendemonstrasikan kekuatan militer gabungan, tetapi juga menegaskan komitmen bersama untuk menegakkan prinsip-prinsip kebebasan navigasi dan penerbangan di perairan internasional, khususnya di LCS.

Keempat negara juga menegaskan bahwa Putusan Pengadilan Arbitrase Laut China Selatan 2016 bersifat final dan mengikat secara hukum, membatalkan klaim maritim China yang berlebihan di kawasan tersebut. Signifikansi putusan itu tidak dapat diremehkan, mencerminkan upaya kolektif mempertahankan tata kelola berbasis aturan di Indo-Pasifik.

Namun, langkah ini memicu reaksi keras dari China. Beijing mengecam latihan tersebut sebagai provokasi dan militerisasi wilayah yang diklaim sebagai kedaulatannya di Laut China Selatan. Bagi China, latihan militer gabungan itu dianggap telah melanggar kedaulatan teritorialnya melalui nine-dash line. 

Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri China menyerukan kepada negara-negara peserta untuk "menghormati kedaulatan dan hak maritim China dan tidak melakukan tindakan apa pun yang dapat memprovokasi masalah tersebut atau meningkatkan ketegangan" (Pamuk & Brunnstrom, 2023).

Tidak hanya kecaman diplomatik, China juga berpotensi mengambil langkah-langkah balasan lainnya. Mereka dapat menggelar latihan militer tandingan di sekitar Laut China Selatan untuk menunjukkan kekuatan dan kedaulatannya di wilayah tersebut. Beijing juga mungkin akan meningkatkan aktivitas konstruksi dan memilitarisasi pulau-pulau buatan untuk mengukuhkan klaimnya atas kawasan LCS.

Selain itu, Beijing berpotensi mengambil langkah-langkah pembalasan ekonomi, seperti membatasi akses pasar atau menghambat investasi dari negara-negara peserta latihan di China. Mereka juga dapat mengintensifkan upaya diplomasinya untuk memperoleh dukungan dari mitra ekonomi besar, guna mengisolasi negara-negara yang menentang klaimnya di Laut China Selatan.

Tantangan diplomasi

Respon keras China ini menunjukkan tantangan besar dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik. Kendati upaya seperti latihan maritim bersama ini bertujuan menegakkan tata kelola berbasis aturan, namun China tampaknya tetap berkeras mempertahankan klaimnya yang berlebihan di Laut China Selatan.

Situasi ini dapat dianggap sebagai dilema keamanan klasik di mana tindakan satu pihak untuk meningkatkan keamanannya dipandang sebagai ancaman oleh pihak lain. Jika tidak ditangani dengan hati-hati melalui diplomasi dan dialog, situasi ini dapat memicu siklus aksi-reaksi provokatif yang berujung pada konfrontasi terbuka.

Satu-satunya jalan keluar dari sengketa Laut China Selatan adalah melalui negosiasi dan penyelesaian damai berdasarkan hukum internasional (Miglani, 2023). Diplomasi intensif dan membangun mekanisme pencegahan konflik serta manajemen krisis maritim menjadi kunci untuk mencegah eskalasi ketegangan yang tidak terkendali. 

Selain itu, diplomasi melibatkan pihak ketiga yang kredibel dan diterima semua pihak juga dapat membantu memediasi sengketa dan mendorong penyelesaian damai di LCS. Hingga sekarang berbagai negara yang berkepentingan mengeluarkan kebijakan navigasi dan tata kelola maritim di LCS.

ASEAN, misalnya, mengajak negara-negara besar bekerjasama melalui ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP). Melalui AOIP, ASEAN mengajak negara-negara di kawasan ini mendorong terbangunnya arsitektur regional yang inkusif, promosi kerjasama saling menguntungkan, dan meciptakan peluang-peluang baru di kawasan ini.

Diplomasi juga diharapkan dapat memperluas kerja sama ekonomi dan people-to-people dengan China. Tujuannya adalah meningkatkan saling ketergantungan dan mengurangi risiko konflik terbuka. Semakin banyak ikatan ekonomi dan hubungan antara masyarakat, semakin besar insentif untuk menjaga perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan ini.

Berbagai upaya ini memang bukan strategi yang mudah dan berjangka pendek, namun memerlukan komitmen berkelanjutan dari berbagai pihak. Dalam banyak situasi, kerjasama ekonomi antar-negara tidak selalu berlangsung dalam suasana ketegangan sebagaimana hubungan militer-pertahanan antar-negara.

Perang Rusia-Ukraina, misalnya, menyebabkan AS dan negara-negara pendukung Ukraina bersekutu dalam bidang militer dan ekonomi untuk mengisolasi Rusia. AS memimpin negara-negara pendukung Ukraina untuk mengalahkan Rusia di berbagai bidang.

Perang itu melibatkan blokade ekonomi dan masyarakat internasional, sehingga banyak perusahaan asing harus keluar dari Rusia. Sanksi internasional juga dikenakan kepada warga Rusia yang mewakili negaranya di berbagai kegiatan internasional, misalnya Olimpiade.

Namun sitasi itu tampaknya berbeda dengan China. Berbagai negara diikat China melalui kerjasama ekonomi dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI). Sementara itu, China juga memberikan tekanan militer kepada beberapa negara itu melalui kebijakan kedaulatan maŕitimnya di LCS.

Upaya menjaga stabilitas dan perdamaian di Indo-Pasifik membutuhkan pendekatan dua jalur. Di satu sisi, langkah-langkah seperti latihan maritim bersama diperlukan untuk menunjukkan komitmen menegakkan tatanan berbasis aturan. 

Namun di sisi lain, upaya diplomasi, dialog, dan kerja sama ekonomi juga harus diintensifkan untuk mencegah eskalasi konflik terbuka. Hanya dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, perdamaian dan kemakmuran dapat terwujud secara berkelanjutan di kawasan strategis Indo-Pasifik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun