Dinamika geopolitik kontemporer saat ini diwarnai oleh persaingan strategis antara Amerika Serikat (AS) sebagai hegemon global dan kekuatan-kekuatan baru yang menantang dominasinya, terutama China. Yang menarik adalah persaingan kedua negara itu tidak melulu berada di ranah militer-pertahanan.
Persaingan mereka semakin intens di bidang teknologi tinggi, seperti semikonduktor, kecerdasan buatan, energi (nikel dan listrik), dan jaringan telekomunikasi generasi kelima (5G).
Capri menamakan pertarungan kedua negara adidaya itu sebagai fenomena nasionalisme teknologi atau techno-nationalism.Â
Kecenderungan techno-nationalism itu menjadi ciri khas penting dari persaingan ini, di mana negara-negara berupaya mengontrol aliran teknologi lintas batas demi kepentingan nasionalnya (Capri, 2020).
Perang dagang AS-China yang melibatkan produk Huawei juga ditengarai berawal dan berujung pada nasionalisme teknologi itu.
Resistensi AS terhadap kebangkitan teknologi China mencerminkan kekhawatiran mendalam akan tergerusnya keunggulan ekonomi dan militer AS.
Seorang pakar geopolitik, Fareed Zakaria (2023), menjelaskan jika sebuah negara menduduki posisi nomor satu di dunia dan melihat negara lain mengejarnya, maka negara itu akan mencoba memperlambatnya.
Upaya AS membatasi akses China ke teknologi chip canggih dilakukan melalui serangkaian upaya. Sanksi dan tekanan diplomatik terhadap sekutu-sekutunya, seperti Belanda, merupakan manifestasi nyata dari kekhawatiran AS.
Namun demikian, efektivitas jangka panjang dari pendekatan AS ini dipertanyakan oleh beberapa pakar. Abishur Prakash (2023), misalnya, berpendapat bahwa memblokir akses China ke chip tidak akan menghentikan ambisinya, namun justru berpotensi mempercepat upayanya untuk mencapai kemandirian teknologi.Â
Selanjutnya, pembatasan ini pada akhirnya akan merugikan perusahaan-perusahaan AS sendiri. Pasalnya, selama ini perusahaan -perusahaan itu ternyata telah menikmati keuntungan besar dari pasar China yang luas.
FragmentasiÂ
Kebangkitan techno-nationalism dapat berpotensi memicu fragmentasi lebih lanjut dari tatanan global yang selama ini semakin terintegrasi ke dalam globalisasi. Menurut Anthea Roberts dan Nicolas Lamp (2021), dunia saat ini sedang bergerak menuju "spheres of influence."Â
Negara-negara besar tidak bisa disangkal telah berusaha membentuk tata aturan dan institusi di tingkat regional maupun global. Aturan main itu seringkali secara tidak disadari selaras dengan nilai-nilai dan kepentingan mereka masing-masing.Â
Rivalitas teknologi antara AS dan China berpotensi untuk semakin mempercepat tren ini. Globalisasi yang digadang-gadang menyatukan kepentingan berbagai negara di dunia ini ternyata berpotensi memecah-mecah demi kepentingan nasional.
Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, situasi ini menimbulkan dilema yang cukup pelik. Di satu sisi, akses ke teknologi canggih dari berbagai sumber menjadi sangat penting bagi pembangunan dan kemajuan ekonomi mereka.Â
Namun di sisi lain, meningkatnya ketegangan antara AS dan China menciptakan tekanan bagi negara-negara lain untuk mendekat kepada salah satu pihak. Kenyataan bahwa kedekatan itu tidak lagi sekaku seperti pada masa Perang Dingin juga perlu menjadi perhatian.Â
Oleh karena itu, negara-negara berkembang perlu secara hati-hati menavigasi rivalitas antar kekuatan besar ini sembari tetap berupaya memajukan kepentingan nasional mereka sendiri.
Resiko
Techno-nationalism sendiri bukanlah fenomena yang unik bagi AS dan China saja. Berbagai negara lain juga menerapkan kebijakan-kebijakan serupa untuk meningkatkan kemandirian dan daya saing teknologi mereka.Â
Uni Eropa, misalnya, mengusulkan European Chips Act pada tahun 2022 untuk memperkuat kapasitas produksi, penelitian, dan inovasi di sektor semikonduktor (European Commission, 2022).
Jepang juga meluncurkan Moonshot Research and Development Program. Program ini memberikan dana sebesar Â¥100 miliar untuk mencapai terobosan di bidang kecerdasan buatan, kuantum, dan bioteknologi (Cabinet Office, Japan, 2020).Â
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa techno-nationalism telah menjadi pendekatan yang semakin lazim di berbagai belahan dunia.
Meski demikian, pendekatan techno-nationalism ini bukannya tanpa risiko. Pembatasan aliran teknologi lintas batas berpotensi menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi global.Â
Perusahaan-perusahaan multinasional menghadapi volatilitas dan ketidakpastian yang meningkat akibat persaingan geopolitik ini.
Fragmentasi tatanan global juga dapat mempersulit kerja sama internasional yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan-tantangan bersama, misalnya perubahan iklim dan pandemik.
Pada akhirnya, rivalitas hegemoni dan fenomena techno-nationalism bukanlah kondisi yang ideal bagi kemajuan dan kesejahteraan global.
Seperti yang ditegaskan oleh pakar Hubungan Internasional, G. John Ikenberry (2022), tatanan internasional yang stabil dan prospektif mensyaratkan adanya "kepemimpinan yang legitimate, berbagi kekuasaan, dan kerja sama institusional yang kuat."Â
Meskipun jalan menuju ke sana penuh dengan tantangan, upaya untuk mewujudkannya tetap perlu dilakukan demi kepentingan bersama umat manusia.Â
Keseimbangan antara persaingan dan kolaborasi dalam konteks techno-nationalism akan menjadi kunci bagi masa depan hubungan internasional yang stabil dan damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H