Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa techno-nationalism telah menjadi pendekatan yang semakin lazim di berbagai belahan dunia.
Meski demikian, pendekatan techno-nationalism ini bukannya tanpa risiko. Pembatasan aliran teknologi lintas batas berpotensi menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi global.Â
Perusahaan-perusahaan multinasional menghadapi volatilitas dan ketidakpastian yang meningkat akibat persaingan geopolitik ini.
Fragmentasi tatanan global juga dapat mempersulit kerja sama internasional yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan-tantangan bersama, misalnya perubahan iklim dan pandemik.
Pada akhirnya, rivalitas hegemoni dan fenomena techno-nationalism bukanlah kondisi yang ideal bagi kemajuan dan kesejahteraan global.
Seperti yang ditegaskan oleh pakar Hubungan Internasional, G. John Ikenberry (2022), tatanan internasional yang stabil dan prospektif mensyaratkan adanya "kepemimpinan yang legitimate, berbagi kekuasaan, dan kerja sama institusional yang kuat."Â
Meskipun jalan menuju ke sana penuh dengan tantangan, upaya untuk mewujudkannya tetap perlu dilakukan demi kepentingan bersama umat manusia.Â
Keseimbangan antara persaingan dan kolaborasi dalam konteks techno-nationalism akan menjadi kunci bagi masa depan hubungan internasional yang stabil dan damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H