Menurut pendekatan English School, ASEAN dan UE dibentuk bukan oleh kekuatan negara (menurut pendekatan Realisme) atau berdasarkan motivasi bekerjasama di antara negara-negara pembentuknya (mengikuti pendektan liberalisme).
Bagi English School, ASEAN dan UE dibentuk oleh manifestasi dari masyarakat internasional pada tingkat regional masing-masing. Negara-negara di Asia Tenggara membangun norma, aturan, dan institusi bersama di dalam ASEAN, sebagaimana mereka di Eropa melalui UE.
Organisasi regional, seperti Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan Uni Eropa, mempromosikan norma dan nilai bersama di antara negara-negara anggotanya. ASEAN, yang didirikan pada tahun 1967, dibangun di atas prinsip-prinsip seperti non-intervensi, konsensus, dan penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial (ASEAN Secretariat, 2020).Â
Melalui berbagai perjanjian dan deklarasi, seperti Piagam ASEAN dan Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (TAC), ASEAN berupaya untuk mempromosikan perdamaian, stabilitas, dan kerja sama di kawasan.
Namun, pendekatan "ASEAN Way" yang menekankan prinsip non-intervensi dan pengambilan keputusan berdasarkan konsensus juga telah dikritik karena menghambat efektivitas organisasi dalam mengatasi isu-isu kontroversial, seperti pelanggaran hak asasi manusia dan sengketa teritorial (Acharya, 2001).Â
Meskipun demikian, ASEAN tetap menjadi contoh penting dari regionalisme di Asia Tenggara dan telah memainkan peran kunci dalam menjaga stabilitas dan mendorong integrasi ekonomi di kawasan.
Di sisi lain, Uni Eropa merupakan contoh yang paling maju dari regionalisme, dengan tingkat integrasi politik dan ekonomi yang tinggi. Uni Eropa dibangun di atas nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan rule of law, seperti tercantum dalam Perjanjian Uni Eropa dan Piagam Hak Dasar Uni Eropa (European Union, 2020).
Melalui institusi-institusi supranasional, seperti Parlemen Eropa, Komisi Eropa, dan Pengadilan Eropa, Uni Eropa telah mengembangkan sistem tata kelola yang unik, di mana negara-negara anggota berbagi kedaulatan dalam berbagai bidang kebijakan.
Menurut Andrew Linklater (1998, hal. 196), "Uni Eropa telah menjadi laboratorium untuk eksperimen dalam membangun komunitas politik pasca-Westphalia yang didasarkan pada prinsip-prinsip kosmopolitan." Uni Eropa telah menunjukkan bahwa regionalisme dapat menghasilkan bentuk kerja sama dan integrasi yang mendalam, meskipun juga menghadapi tantangan seperti krisis ekonomi, migrasi, dan Brexit.
Dibandingkan dengan realisme yang berfokus pada kekuatan dan kepentingan nasional, atau liberalisme yang menekankan kerja sama dan institusi, English School lebih mampu menangkap kompleksitas regionalisme dengan mempertimbangkan peran norma, nilai, dan identitas bersama dalam membentuk perilaku negara di tingkat regional.
Implikasi Regionalisme
Kebangkitan regionalisme memiliki implikasi signifikan terhadap tata kelola global dan masa depan masyarakat internasional. Di satu sisi, regionalisme dapat melengkapi sistem global dengan menyediakan lapisan tambahan tata kelola dan kerja sama.Â