Di era paska-kolonial, negara-negara berkembang di Dunia Selatan (Global South) telah memperkuat kerja sama dan solidaritas untuk meningkatkan posisi tawar mereka di panggung global.Â
Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation/SSC) menjadi sebuah pendekatan bagi negara-negara berkembang untuk saling berbagi pengalaman, sumber daya, dan teknologi dalam upaya mencapai pembangunan yang berkelanjutan.Â
Kebijakan luar negeri Indonesia dalam mendorong Kerja Sama Selatan-Selatan dimulai sejak kepemimpinan awal negara setelah kemerdekaan. Namun momentumnya terjadi pada 1955, sejalan dengan peran Indonesia sebagai pelopor Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung.Â
Konferensi ini menandai titik awal dari gerakan solidaritas antarnegara di kawasan global Selatan. KAA bahkan dianggap sebagai cikal bakal dari apa yang kemudian dikenal dengan Kerja Sama Selatan-Selatan.
KAA 1955, yang mengumpulkan negara-negara di Asia dan Afrika, menjadi sarana penting bagi negara-negara yang baru merdeka atau yang sedang berjuang untuk kemerdekaan. Mereka menolak keras kolonialisme dan imperalisme, serta meningkatkan kerjasama ekonomi serta politik antar negara berkembang.Â
Inisiatif ini tidak hanya menegaskan keberadaan dan suara negara-negara berkembang di panggung internasional. Lebih lanjut, inisiatif itu juga menanamkan dasar bagi kerjasama Selatan-Selatan yang berlanjut hingga saat ini.
Perspektif
Dalam studi Hubungan Internasional (HI), teori post-kolonial menawarkan perspektif kritis untuk memahami dinamika politik global. Dinamika itu terutama dalam konteks hubungan antara negara-negara bekas penjajah dan negara-negara bekas jajahan (Said, 1978).Â
Teori ini secara sederhana berusaha mengkaji bagaimana warisan kolonialisme dan ketidakseimbangan kekuasaan mempengaruhi interaksi antar negara dan membentuk tatanan dunia kontemporer.
Teori post-kolonial dalam studi HI menyoroti urgensi negara-negara Dunia Selatan untuk memperkuat solidaritas. Â
Di samping itu, teori ini menegaskan  kesadaran bersama mengenai kepentingan mereka di dunia yang masih didominasi oleh negara-negara Utara atau Barat (Acharya, 2014).
Dalam konteks ini, kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan perhatian khusus pada penguatan kerja sama Selatan-Selatan.Â
Pendekatan post-kolonial tampaknya telah mempengaruhi arah kebijakan luar negeri Indonesia dalam mendorong kerjasama dengan negara-negara berkembang lainnya.
Dalam pidato pada KTT Gerakan Non-Blok (GNB) di Baku, Azerbaijan, pada 2019, Presiden Jokowi menegaskan komitmen Indonesia untuk memperkuat kerja sama Selatan-Selatan dan solidaritas negara-negara berkembang.
Dapat dipahami bahwa  pendekatan ini mendorong menghilangkan ketergantungan negara-negara Dunia Selatan dari negara-negara Utara (Barat) dalam aspek ekonomi, politik, dan keamanan (Acharya, 2014).Â
Ketidakseimbangan Kekuatan
Indonesia, seperti banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, memiliki sejarah panjang sebagai negara jajahan. Pengalaman kolonialisme di bawah kekuasaan Belanda selama berabad-abad yang telah membentuk cara Indonesia memandang dirinya dan dunia.
Meskipun Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945, warisan kolonial masih mempengaruhi dinamika hubungan Indonesia dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara bekas penjajah.
Salah satu aspek penting dari warisan kolonial adalah ketidakseimbangan kekuasaan dalam sistem internasional. Negara-negara bekas penjajah, yang sebagian besar merupakan negara-negara maju di Barat, masih memiliki pengaruh yang besar dalam politik, ekonomi, dan budaya global (Nkrumah, 1965).Â
Di sisi lain, negara-negara bekas jajahan, yang sebagian besar merupakan negara-negara berkembang di Selatan, seringkali menghadapi tantangan dalam menghadapi dominasi negara-negara maju dan memperjuangkan kepentingan mereka.
Penjelasan ini seolah membenarkan upaya Indonesia untuk keluar dari kungkungan kekuasaan negara-negara Barat melalui hilirisasi nikel dan sumber dayanya.Â
Tantangan negara-negara Eropa menolak ekspor sawit Indonesia juga seakan menjadi justifikasi diplomasi Indonesia melawan dominasi negara-negara maju.
Dalam konteks ini, kerja sama Selatan-Selatan menjadi penting sebagai upaya negara-negara berkembang untuk mengatasi ketidakseimbangan kekuasaan dan membangun tatanan dunia yang lebih adil (Chandra & Amir, 2020).Â
Kerja sama Selatan-Selatan mengacu pada kolaborasi antar negara-negara berkembang dalam berbagai bidang. Tujuannya adalah saling memperkuat dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
Aktivisme Indonesia
Indonesia semakin aktif dalam mempromosikan kerja sama Selatan-Selatan sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya. Sebagai negara berkembang terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peran penting dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang dan membangun tatanan dunia yang lebih seimbang.
Pada tahun 2022, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan Kerja Sama Ekonomi Negara-Negara Non-Blok, sebuah organisasi yang beranggotakan 120 negara berkembang.Â
Dalam KTT tersebut, Indonesia menekankan pentingnya kerja sama ekonomi Selatan-Selatan untuk mengurangi ketergantungan terhadap negara-negara Utara (Barat) (Kemlu RI, 2022).
Melalui pendekatan post-kolonial, negara-negara berkembang harus mampu menciptakan ruang bagi suara-suara alternatif dari negara-negara Dunia Selatan untuk menyuarakan kepentingan dan perspektif mereka (Tickner, 2003).Â
Pada konteks ini, Indonesia telah berupaya untuk mempromosikan kerja sama Selatan-Selatan lewat forum-forum multilateral, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).Â
Indonesia juga menjadi salah satu pendiri Gerakan Non-Blok pada tahun 1961, sebuah organisasi yang mempromosikan solidaritas negara-negara berkembang dan menyuarakan kepentingan mereka di panggung global. Pada tahun 2015, Indonesia menjadi tuan rumah KTT Asia-Afrika di Jakarta, yang mempertemukan pemimpin dari negara-negara di dua benua tersebut.Â
Dalam KTT ini, Indonesia menekankan pentingnya memperkuat kerjasama Selatan-Selatan dalam bidang ekonomi, politik, dan keamanan (Kemlu RI, 2015).
Indonesia juga aktif terlibat dalam berbagai forum kerja sama Selatan-Selatan, seperti Forum Kerja Sama Asia-Afrika (AACF), Forum Kerja Sama Asia Timur-Amerika Latin (FEALAC), dan Konferensi Asia-Afrika (AAC) (Wicaksana, 2017).Â
Dalam forum-forum ini, Indonesia berupaya untuk mempromosikan solidaritas dan kerja sama di antara negara-negara berkembang, serta menyuarakan kepentingan bersama dalam menghadapi tantangan global.
Selain itu, pendekatan post-kolonial juga menekankan pentingnya membangun jaringan dan aliansi baru di antara negara-negara Dunia Selatan (Acharya, 2014). Dalam konteks ini, Indonesia telah berupaya untuk memperkuat kerjasama dengan negara-negara berkembang di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.Â
Namun demikian, pendekatan post-kolonial juga menghadapi beberapa kritik dan tantangan. Menurut Amitav Acharya, salah satu tantangan utama bagi pendekatan post-kolonial adalah memastikan bahwa solidaritas Dunia Selatan tidak hanya bersifat retorika, tetapi juga dapat diterjemahkan ke dalam kerja sama praktis dan kebijakan yang nyata (Acharya, 2014).Â
Dalam konteks ini, Indonesia harus memastikan bahwa upaya untuk mendorong kerja sama Selatan-Selatan tidak hanya berhenti pada level retorika, tetapi juga disertai dengan langkah-langkah konkret dan kebijakan yang mendukung.
Selain itu, pendekatan post-kolonial juga menghadapi tantangan kompleksitas dan dinamika hubungan antara negara-negara Dunia Selatan itu sendiri. Meskipun memiliki kesamaan dalam pengalaman kolonial, kenyataan mengungkapkan bahwa negara-negara Dunia Selatan memiliki juga kepentingan dan prioritas yang berbeda-beda.
Analisis post-kolonial meningkat bahwa kebijakan luar negeri Indonesia juga berupaya mengkritik dan melawan dominasi negara-negara maju.Â
Indonesia seringkali menyuarakan pandangan kritis terhadap ketidakadilan dalam tata kelola global, seperti dalam isu perubahan iklim, perdagangan internasional, dan reformasi lembaga-lembaga multilateral.
IIndonesia juga harus mampu membangun konsensus dan memediasi perbedaan kepentingan di antara negara-negara berkembang untuk mempromosikan kerja sama Selatan-Selatan yang efektif.
Tantangan potensial lainnya adalah keterbatasan sumber daya dan kapasitas negara-negara berkembang dalam mengimplementasikan kerja sama yang efektif (Chandra & Amir, 2020).Â
Kondisi itu diyakini dapat menghambat upaya kolaborasi di antara negara-negara Selatan/berkembang. Mereka diharapkan mampu bekerja sama secara kongkrit dan mengelola dinamika di antara negara-negara Dunia Selatan itu sendiri.
Melalui pendekatan post-kolonial ini, negara-negara di Dunia Selatan tidak hanya didorong untuk bekerja sama dengan negara-negara di Dunia Utara. Mereka juga harus berkomitmen membangun solidaritas dan jejaring di antara negara-negara Selatan untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri demi menghindari dominasi negara-negara maju.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI