Dugderan adalah tradisi unik yang selalu dilakukan masyarakat Semarang, Jawa Tengah. Tradisi itu diadakan setiap tahun untuk menyambut datangnya bulan puasa, Ramadhan. Nama tradisi ini berasal dari bunyi bedug dan mercon yang dibunyikan bersamaan, "dug" dan "der".
Di daerah lain mungkin juga ada tradisinserupa menjelang bulan puasa. Kota Kudus, misalnya, juga memiliki tradisi serupa yang dinamakan 'dandangan'.
Selain menandai mulainya puasa, Dugderan juga menjadi momentum penting untuk bersyukur dan mempererat persaudaraan bagi masyarakat kota Semarang. Pada perayaan tahun 2024, banyak sekali kegiatan menarik yang disiapkan.
Warga Semarang, pemerintah kota, dan tamu dari luar kota ikut meramaikan festival ini. Pada Sabtu, 9 Maret kemarin, kirab budaya Dugderan berlangsung sangat meriah meski hujan turun.
Walikota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, berperan sebagai Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purbodiningrum dan bersama pejabat lain membuka acara.
Selain itu, Walikota juga ikut pawai Warak Ngendog, simbol unik perpaduan budaya Jawa, Islam, dan India yang menunjukkan pentingnya keberagaman.
Secara historis, dugderan pertama kali diadakan tahun 1881 oleh Kanjeng Adipati Purbaningrat, Bupati Semarang waktu itu. Acaranya dimulai dengan tarian Warak Ngendhog, lalu amanat dari Bu Walikota dalam bahasa Jawa. Yang menarik adalah semua prosesi ini dilakukan memakai bahasa Jawa.
Warak Ngendhog merupakan ikon dari perayaan Dugderan. Warak Ngendog adalah binatang mitos berkepala naga, berbadan kambing, dan berekor naga. Ikon itu melambangkan penyatuan budaya Jawa, India, dan Islam.
Secara filosofi, kata “warak” berasal dari bahasa Jawa yang bermakna kambing. Namun, ternyata ada pandangan bahwa “warak” berasal dari bahasa Arab yang berarti suci. Lalu, ada juga interpretasi mengenai “warak” sebagai seekor naga
Sedangkan "Ngendhog" berarti bertelur, sehingga jika diartikan secara keseluruhan, “Warak Ngendhog” berarti hasil atau pahala. Nah, pahala itu akan diperoleh seseorang setelah menjalani bulan Ramadhan dan di akhir bulan suci akan menerima pahala yang disimbolkan dalam perayaan Hari Raya Idul Fitri.
Karena pemahaman dari beberapa budaya yang berbeda itu mengenai Warak Ngendok, maka ikon festival dugderan ini digambarkan dengan sebuah boneka naga berkaki empat, seperti menggabungkan dua binatang menjadi satu.
Di perayaan itu, ada juga pembagian air suci, kue ganjel rel khas Semarang, dan kue keranjang dari komunitas Tionghoa karena pelaksanaan Dugderan di tahun ini berdekatan dengan perayaan Imlek.
Di Balai Kota Semarang, Walikota menabuh bedug saat hujan. Lalu beliau dan para pejabat lain memecahkan kendi di Jl. Pemuda dan naik kereta kencana menuju Masjid Kauman untuk acara berikutnya.
Iring-iringan kirab terdiri dari pasukan bergada dari tiap kecamatan di Semarang, masing-masing 40 orang. Ada pula komunitas Tionghoa dengan Barongsai dan Liong.
Ada juga perwakilan dari 16 kecamatan di Kota Semarang. Mereka turut berbaris di halaman Balai Kota pada saat upacara menjelang kirab dan mengenakan baju adat yang berbeda di setiap kelompoknya.
Tradisi dugderan memang menjadu penanda dimulainya bulan Ramadhan. Selain itu, pawai atau kirab dugderan juga menjadi hari terakhir bagi pasar malam.
Di pasar malam itu, masyarakat berbagai lapisan disuguhi berbagai atraksi dan, tentu saja, menjadi tempat berkumpulnya pedagang dan pembeli.
Dugderan 2024 juga mengajarkan budaya pada generasi muda agar tetap melestarikan tradisi. Ini penting di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang menggeser budaya lokal.
Makna penting
Lebih luas lagi, Dugderan menjadi pemersatu berbagai kalangan tanpa melihat suku, agama, atau status sosial. Tradisi ini mengajarkan untuk menjaga kerukunan, menghargai perbedaan sebagai anugerah.
Menyambut Ramadhan dengan Dugderan adalah tradisi penuh makna. Ia memperkuat nilai Islam sekaligus memperkaya wawasan keragaman budaya.
Semarang telah mencontohkan bagaimana tradisi bisa jadi sarana mengungkap rasa syukur pada Tuhan dan menjadi jembatan penghubung antar warga.
Dugderan 2024 berhasil mengukuhkan identitas budaya Semarang, mengajarkan rasa syukur, kebersamaan, kepedulian sosial, sekaligus menumbuhkan toleransi dan saling memahami antar budaya.
Dugderan juga bisa mengungkapkan kenyataan mengenai toleransi dari berbagai budaya yang dibawa masyarakat di Semarang, seperti Jawa, Arab, China, dan Melayu.
Semoga momen seperti Dugderan ini terus menginspirasi generasi sekarang dan mendatang, di Semarang dan sekitarnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI