Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kelas Menengah: Dilema Kecukupan Ekonomi dan Partisipasi Politik

3 Maret 2024   12:46 Diperbarui: 3 Maret 2024   12:56 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Masyarakat Kelas Menenga |  Foto: Istockphoto

Dalam satu atau dua dekade terakhir, istilah "kelas menengah" semakin sering muncul dalam diskusi mengenai ekonomi dan politik Indonesia. Salah satu faktornya adalah semakin banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang masuk ke kelas menengah seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil pasca-krisis ekonomi 1998. 

Bagi sebagian besar masyarakat awam, kelas menengah identik dengan gaya hidup yang lebih makmur dan modern. Mereka memiliki pendapatan lebih tinggi yang cukup untuk membeli rumah, kendaraan, dan barang elektronik, serta mampu menyekolahkan anak hingga jenjang perguruan tinggi. Singkatnya, kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang hidupnya sudah cukup enak.

Dilema
Namun ternyata, hasil investigasi media daring Kompas.id mengungkap bahwa kehidupan kelas menengah Indonesia tidak selalu seperti yang dibayangkan. Sebagian besar dari mereka hanya berpenghasilan pas-pasan dengan pengeluaran bulanan yang cukup tinggi untuk biaya hidup. 

Hal ini membuat banyak kelas menengah hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Mereka berisiko untuk tergelincir kembali menjadi kelas bawah bila terjadi pemutusan hubungan kerja atau krisis ekonomi. 

Selain itu, akses terhadap fasilitas publik seperti pendidikan dan kesehatan yang berkualitas juga masih sulit dijangkau kelas menengah Indonesia. Sistem pendidikan dan kesehatan yang mahal serta minimnya bantuan pemerintah membuat sebagian kelas menengah "terjebak" dalam lingkaran setan ketidakberdayaan ekonomi. 

Padahal, investasi untuk pendidikan dan kesehatan sangat penting agar anak-anak kelas menengah bisa meraih mobilitas sosial ke kelas yang lebih tinggi di masa depan. Akibatnya, mobilitas sosial kelas menengah, terutama generasi mudanya, menjadi terhambat.

Dari sisi politik, meski dianggap lebih terdidik dan rasional, partisipasi politik kelas menengah Indonesia juga masih tergolong rendah. Mereka lebih memilih untuk tidak terlibat dalam proses politik praktis dan fokus pada kepentingan ekonomi kelompoknya saja. 

Sebab, kelas menengah masih kalah pengaruhnya dibanding para pemodal besar dan elit politik lama yang mendominasi panggung politik Indonesia saat ini. Namun, kelas menengah generasi muda mulai meningkat partisipasi politiknya, terutama melalui ruang-ruang digital seperti media sosial. 

Berbeda dengan orang tua mereka yang apatis, generasi muda kelas menengah lebih vokal mengkritisi para elit politik melalui media sosial. Mereka juga lebih terbuka untuk berpartisipasi dalam gerakan-gerakan sosial, seperti demonstrasi damai.

Apakah berarti tidak ada harapan bagi peran politik kelas menengah Indonesia? Ternyata tidak juga. Menurut sejumlah pengamat, kelas menengah Indonesia sebenarnya memiliki potensi menjadi kekuatan perubahan demokrasi ke depannya. 

Hanya saja diperlukan terobosan kebijakan publik yang lebih berpihak pada rakyat agar kesejahteraan dan akses pendidikan kelas menengah bisa meningkat. Dengan begitu, kelas menengah dapat memainkan peran politik yang lebih optimal dalam proses reformasi dan pembangunan Indonesia.

Itulah gambaran singkat mengenai dilema yang dihadapi kelas menengah Indonesia saat ini, antara cita-cita kehidupan yang lebih makmur dengan realita ekonomi dan politik yang masih penuh ketidakpastian. Kuncinya terletak pada komitmen bersama, baik dari kelas menengah itu sendiri maupun pengambil kebijakan, untuk membuka akses yang lebih luas bagi peningkatan kesejahteraan kelas menengah. 

Hanya dengan cara inilah Indonesia bisa mewujudkan potensi kelas menengahnya sebagai motor penggerak demokrasi dan pembangunan ekonomi.

Seperti Borjuis di Eropa?
Sebuah buku klasik karya Barrington Moore berjudul "Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasent in the Making of the Modern Word” (1974) cukup relevan menjadi rujukan. Ada adagium populer soal kelas menengah di buku itu, "no bourgeois, no democracy". 

Adagium itu ingin menerangkan bahwa demokrasi hanya terwujud jika ada kelas menengah, yang disebut kaum borjuis. Masalahnya adalah kaum borjuis di Eropa di abad pertengahan itu amat berbeda dengan kelas menengah di Indonesia pada saat ini.

Para borjuis bisa dikategorikan ke dalam kelas menengah, namun dengan spesifikasi lapisan elit dari kelas menengah, yaitu pemilik kapital (capital owner) dan pedagang. Akibatnya, kelas menengah Indonesia bukanlah faktor tunggal bagi demokratisasi 1998.

Kondisi itu sering dijadikan alasan bahwa kelas menengah Indonesia belum mampu menjadi kekuatan politik reformis, seperti pengaruh kaum borjuis di Eropa di saat itu. 

Dua syarat
Setidaknya, ada dua syarat jika kelas menengah Indonesia ingin seperti yang di Eropa, yaitu memerlukan basis material dan habitus politik yang lebih kokoh. 

Basis material yang kokoh berarti kondisi ekonomi kelas menengah harus benar-benar stabil dan mapan. Mereka membutuhkan pendapatan tinggi yang terhindar dari ancaman kemiskinan, akses terhadap pendidikan dan kesehatan berkualitas, serta kepemilikan aset produktif seperti modal usaha atau properti. 

Kondisi itu menjadi syarat bagi kelas menengah Indonesia tidak mudah tergelincir kembali menjadi kelas bawah. Selanjutnya, mereka diharapkan bisa menjalankan peran politiknya dengan penuh kebebasan.

Sementara dari sisi habitus politik, pendidikan politik yang baik, kesadaran akan hak sipil yang tinggi, serta tradisi terlibat dalam organisasi kemasyarakatan sangat penting. Kelas menengah perlu memiliki pikiran terbuka, rasional, dan tidak pragmatis terhadap proses demokrasi. 

Demokrasi adalah tujuan dan, sekaligus, cara. Tanpa tujuan demokratis, maka prosedur demokratis dapat berpotensi dibelokkan ke arah otoritarianisme. Begitu pula, demokrasi yang semata ditempatkan sebagai tujuan akan dicapai dengan cara-cara tidak demokratis. 

Dengan basis material dan habitus politik yang demikian kokoh, kelas menengah Indonesia baru bisa menjalankan peran progresifnya sebagai agen perubahan, sejalan dengan kaum borjuis Eropa dalam teori Moore. 

Bukan hanya persoalan kekayaan, tapi juga pendidikan politik bakal menjadi penentu apakah sebuah kelas menengah bisa menjadi kekuatan politik reformis atau tidak.

Paska-1998
Latar belakang ekonomi dan struktur kesempatan politik semacam itu membuat kelas menengah bukan faktor tunggal bagi demokrasi di Indonesia. Ada pandangan bahwa bemokratisasi di Indonesia pasca-1998 lebih merupakan hasil kesepakatan di antara para elit politik, ketimbang perjuangan kelas menengah.

Pertama, transisi awal menuju demokrasi pada 1998 dilakukan dengan kesepakatan elit-elit pemerintahan Orde Baru dan oposisinya. Kelas menengah Indonesia tidak terlibat secara signifikan dalam tarik-menarik kepentingan ini. 

Kelas menengah belum muncul sebagai aktor politik yang berpengaruh ketika rezim Soeharto tumbang. Kalaupun ada, peran kelas menengah diserobot oleh para elit politik.

Kedua, aturan main demokrasi baru, seperti pemilu multipartai dan otonomi daerah lebih merupakan hasil desain dan konsensus elit politik di MPR. Pemberlakuan otonomi daerah, misalnya, adalah upaya jalan tengah untuk meredam aspirasi daerah paska-Orba, bukan desakan kelas menengah.

Ketiga, keterlibatan kelas menengah dalam partai politik juga masih terbatas. Kebanyakan wajah baru dan kader partai di era reformasi berasal dari kalangan aktivis, akademisi ataupun elite lama yang “bertahan”. 

Akibatnya, kepentingan kelas menengah belum sepenuhnya terwakili dalam proses pengambilan kebijakan. Setelah Presiden Suharto mundur, kelas menengah pun kembali ke rutinitas mereka masing-masing. 

Jadi bisa dikatakan, transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru didominasi oleh proses tawar-menawar dan konsensus di antara elit-elit lama maupun baru. Tidak ada basis massa kelas menengah yang signifikan di balik reformasi politik tersebut. 

Oleh karena itu, demokratisasi Indonesia dinilai masih terbatas pada level atas, bukan murni sebagai hasil desakan dan perjuangan dari kelas menengah sebagai kekuatan borjuis reformis seperti di Eropa.

Akhirnya, perbandingan itu tidak berujung pada kesimpulan bahwa demokrasi di Indonesia lebih buruk atau jelek ketimbang di Eropa. Namun demikian, cita-cita demokrasi di negara tercinta ini perlu ditempatkan sebagai sebuah proses yang harus dikawal masyarakat agar dicapai melalui cara-cara demokratis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun