Sementara dari sisi habitus politik, pendidikan politik yang baik, kesadaran akan hak sipil yang tinggi, serta tradisi terlibat dalam organisasi kemasyarakatan sangat penting. Kelas menengah perlu memiliki pikiran terbuka, rasional, dan tidak pragmatis terhadap proses demokrasi.
Demokrasi adalah tujuan dan, sekaligus, cara. Tanpa tujuan demokratis, maka prosedur demokratis dapat berpotensi dibelokkan ke arah otoritarianisme. Begitu pula, demokrasi yang semata ditempatkan sebagai tujuan akan dicapai dengan cara-cara tidak demokratis.
Dengan basis material dan habitus politik yang demikian kokoh, kelas menengah Indonesia baru bisa menjalankan peran progresifnya sebagai agen perubahan, sejalan dengan kaum borjuis Eropa dalam teori Moore.
Bukan hanya persoalan kekayaan, tapi juga pendidikan politik bakal menjadi penentu apakah sebuah kelas menengah bisa menjadi kekuatan politik reformis atau tidak.
Paska-1998
Latar belakang ekonomi dan struktur kesempatan politik semacam itu membuat kelas menengah bukan faktor tunggal bagi demokrasi di Indonesia. Ada pandangan bahwa bemokratisasi di Indonesia pasca-1998 lebih merupakan hasil kesepakatan di antara para elit politik, ketimbang perjuangan kelas menengah.
Pertama, transisi awal menuju demokrasi pada 1998 dilakukan dengan kesepakatan elit-elit pemerintahan Orde Baru dan oposisinya. Kelas menengah Indonesia tidak terlibat secara signifikan dalam tarik-menarik kepentingan ini.
Kelas menengah belum muncul sebagai aktor politik yang berpengaruh ketika rezim Soeharto tumbang. Kalaupun ada, peran kelas menengah diserobot oleh para elit politik.
Kedua, aturan main demokrasi baru, seperti pemilu multipartai dan otonomi daerah lebih merupakan hasil desain dan konsensus elit politik di MPR. Pemberlakuan otonomi daerah, misalnya, adalah upaya jalan tengah untuk meredam aspirasi daerah paska-Orba, bukan desakan kelas menengah.
Ketiga, keterlibatan kelas menengah dalam partai politik juga masih terbatas. Kebanyakan wajah baru dan kader partai di era reformasi berasal dari kalangan aktivis, akademisi ataupun elite lama yang “bertahan”.
Akibatnya, kepentingan kelas menengah belum sepenuhnya terwakili dalam proses pengambilan kebijakan. Setelah Presiden Suharto mundur, kelas menengah pun kembali ke rutinitas mereka masing-masing.
Jadi bisa dikatakan, transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru didominasi oleh proses tawar-menawar dan konsensus di antara elit-elit lama maupun baru. Tidak ada basis massa kelas menengah yang signifikan di balik reformasi politik tersebut.