Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kelas Menengah: Dilema Kecukupan Ekonomi dan Partisipasi Politik

3 Maret 2024   12:46 Diperbarui: 3 Maret 2024   12:56 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah berarti tidak ada harapan bagi peran politik kelas menengah Indonesia? Ternyata tidak juga. Menurut sejumlah pengamat, kelas menengah Indonesia sebenarnya memiliki potensi menjadi kekuatan perubahan demokrasi ke depannya. 

Hanya saja diperlukan terobosan kebijakan publik yang lebih berpihak pada rakyat agar kesejahteraan dan akses pendidikan kelas menengah bisa meningkat. Dengan begitu, kelas menengah dapat memainkan peran politik yang lebih optimal dalam proses reformasi dan pembangunan Indonesia.

Itulah gambaran singkat mengenai dilema yang dihadapi kelas menengah Indonesia saat ini, antara cita-cita kehidupan yang lebih makmur dengan realita ekonomi dan politik yang masih penuh ketidakpastian. Kuncinya terletak pada komitmen bersama, baik dari kelas menengah itu sendiri maupun pengambil kebijakan, untuk membuka akses yang lebih luas bagi peningkatan kesejahteraan kelas menengah. 

Hanya dengan cara inilah Indonesia bisa mewujudkan potensi kelas menengahnya sebagai motor penggerak demokrasi dan pembangunan ekonomi.

Seperti Borjuis di Eropa?
Sebuah buku klasik karya Barrington Moore berjudul "Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasent in the Making of the Modern Word” (1974) cukup relevan menjadi rujukan. Ada adagium populer soal kelas menengah di buku itu, "no bourgeois, no democracy". 

Adagium itu ingin menerangkan bahwa demokrasi hanya terwujud jika ada kelas menengah, yang disebut kaum borjuis. Masalahnya adalah kaum borjuis di Eropa di abad pertengahan itu amat berbeda dengan kelas menengah di Indonesia pada saat ini.

Para borjuis bisa dikategorikan ke dalam kelas menengah, namun dengan spesifikasi lapisan elit dari kelas menengah, yaitu pemilik kapital (capital owner) dan pedagang. Akibatnya, kelas menengah Indonesia bukanlah faktor tunggal bagi demokratisasi 1998.

Kondisi itu sering dijadikan alasan bahwa kelas menengah Indonesia belum mampu menjadi kekuatan politik reformis, seperti pengaruh kaum borjuis di Eropa di saat itu. 

Dua syarat
Setidaknya, ada dua syarat jika kelas menengah Indonesia ingin seperti yang di Eropa, yaitu memerlukan basis material dan habitus politik yang lebih kokoh. 

Basis material yang kokoh berarti kondisi ekonomi kelas menengah harus benar-benar stabil dan mapan. Mereka membutuhkan pendapatan tinggi yang terhindar dari ancaman kemiskinan, akses terhadap pendidikan dan kesehatan berkualitas, serta kepemilikan aset produktif seperti modal usaha atau properti. 

Kondisi itu menjadi syarat bagi kelas menengah Indonesia tidak mudah tergelincir kembali menjadi kelas bawah. Selanjutnya, mereka diharapkan bisa menjalankan peran politiknya dengan penuh kebebasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun