Dalam demokrasi kontemporer, fenomena selebriti beralih profesi menjadi politisi sudah menjadi fenomena lumrah di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pemilihan Umum (pemilu) 2024 menunjukkan tren yang sama, memperkuat pola yang telah berlangsung selama beberapa siklus pemilu di negara ini.
Dinamika ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa media asing juga mencatat lonjakan jumlah artis yang menjajaki arena politik pada pemilu 2024.
Artis sebagai calon dan anggota legislatif bukanlah sebuah tabu politik. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak partai politik (parpol) berlomba-lomba mengusung artis.
Salah satu alasannya adalah "nafsu" parpol terhadap popularitas selebriti tersebut. Parpol tentu saja berharap memperoleh keuntungan elektoral dari popularitas artis-artis itu.
Keberadaan artis dalam kancah politik pastinya mengundang berbagai polemik. Persoalannya berakar pada kepemilikan kapasitas dan kapabilitas politik dari para artis yang politisi itu.
Di satu sisi, popularitas artis kerap kali dianggap sebagai modal sosial yang berharga untuk meningkatkan daya tarik mereka di mata parpol. Di zaman sosial media sekarang, popularitas artis membuat kebanyakan dari mereka memiliki lebih banyak follower ketimbang politisi yang bukan artis.
Walaupun pemilu legislatif menempatkan para artis daerah pemilihan (dapil), popularitas artis dipandang mampu melampaui sekat-sekat geografi-politik berbentuk dapil itu. Popularitas artis itu sangat potensial dikonversi menjadi basis elektoral sebagai politisi.
Pertimbangan itu menjadikan banyak artis meraih suara pemilih tinggi. Fenomena artis atau komedian, Komeng, misalnya bisa menjadi bukti menarik. Perolehan suara Komeng sebagai calon anggota DPD RI ternyata melebihi suara pasangan calon presiden (capres) Ganjar Pranowo dan calon wakil presiden (cawapres) Mahfud Md di Jawa Barat.
Di sisi lain, perspektif kritis mencoba mencermati fenomena rekrutmen artis sebagai caleg ternyata menguak keraguan atas kapasitas selebritas politisi itu terhadap isu-isu politik yang kompleks. Keraguan itu juga terkait dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka sebagai perwakilan rakyat.
Fungsi representasi dalam demokrasi bukanlah sekadar cerminan statistik dari masyarakat lewat suara yang mereka peroleh dalam pemilu 2024. Lebih jauh, ada isu yang lebih mendasar terkait artis politisi, yaitu representasi kepentingan dan, sekaligus, kapabilitas dalam membuat kebijakan.
Amatan yang lebih luas juga menjelaskan bahwa fenomena artis di politik sering kali mencerminkan budaya pop dan massa. Kenyataan meningkatnya migrasi artis menjadi politisi mungkin bisa dikatakan tidak selalu selaras dengan kedalaman dan seriusnya agenda kebijakan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan mereka.
Tantangan kredibilitas artis menjadi suatu aspek sentral dalam diskursus ini. Di tengah perlombaan politik yang menjadikan popularitas sebagai salah satu kunci utama, caleg artis harus juga membuktikan diri bahwa mereka tidak hanya mengandalkan pamor namun turut menghadirkan substansi politik yang solid.
Stigma yang sering kali melekat bahwa artis hanya sebagai obyek pencitraan partai harus diatasi dengan kapabilitas yang teruji. Soal itu juga menjadi tanggung jawab parpol untuk memastikan bahwa artis yang dijadikan calon anggota legislatifnya dipastikan dibekali dengan pemahaman politik yang mendalam dan pelatihan yang komprehensif.
Alasan ini diperkuat dengan data yang menunjukkan bahwa cakupan caleg artis di DPR cenderung turun dari waktu ke waktu. Kecenderungan itu mengindikasikan adanya kemungkinan yang lebih besar bagi artis untuk gagal dalam pemilu jika kapabilitas politik mereka tidak disiapkan dengan matang.
Inklusivitas politik telah memungkinkan setiap individu dari berbagai latar belakang berpartisipasi adalah salah satu ciri penting dari demokrasi yang matang. Keikutsertaan artis yang memberi warna pada representasi sosial dalam parlemen dapat dianggap sebagai refleksi dari diverifikasi dan evolusi demokrasi di Indonesia.
Namun demikian, tugas artis tidak sekadar berhenti di proses kampanye, terpilih, dan menjadi anggota legislatif. Mereka harus secara serius memenuhi ekspektasi publik akan kompetensi dan kontribusi yang nyata selama menjadi politisi di parlemen.
Dengan semakin banyak menghadirkan figur publik dalam daftar caleg, partai politik diharapkan tidak melupakan esensi dari rekruitmen yang dilandasi persyaratan pengalaman dan keterampilan politik.
Dengan cara itu, parpol diharapkan berinvestasi dalam pengembangan kapabilitas politik calon anggota legilatif, termasuk artis. Sekelumit tata kelola politisi parpol ini selaras dengan cita-cita demokrasi yang lebih inklusif dan berkualitas.
Kehadiran artis dalam pemerintahan dapat menjadi aset berharga, terutama dalam menarik perhatian masyarakat terhadap proses politik dan kebijakan pemerintah.
Namun, tanpa persiapan yang memadai, artis politik mungkin akan menghadapi tantangan dalam memenuhi tuntutan yang kompleks dari kinerja legislatif. Tugas politisi sebagai anggota legislatif tidak sekadar membutuhkan nalar politik yang cekatan, tetapi juga integritas yang tidak tergoyahkan.
Masyarakat akan mengawasi fenomena ini dengan minat tinggi karena popularitas artis politisi itu. Harapannya adalah terbangun keseimbangan antara nilai-nilai merek elektoral dan substansi politik yang hakiki.
Pemilu 2024 ternyata telah menghadirkan panggung bagi perpaduan antara politik dan hiburan. Tantangan menariknya adalah bahwa esensi dari fenomena artis menjadi politisi ternyata tidak hanya sebagai fenomena semata, tapi sebuah momentum refleksif terhadap wajah demokrasi kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI