Melalui lima debat capres dan cawapres, ketiga pasangan calon sudah menjelaskan visi-misi dan program-program mereka jika terpilih menjadi pemimpin Indonesia di lima tahun ke depan (2024-2029). Berbagai kampanye menunjukkan kecenderungan mereka menggunakan populisme sebagai strategi memenangkan suara di pemilihan presiden (pilpres) 2024.
Setelah mengulas populisme calon presiden (capres) Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, kini giliran ulasan mengenai populisme  Anies Baswedan. Anies mencuat sebagai salah satu kandidat capres potensial menuju Pilpres 2024 lewat gagasan "perubahan" yang diusungnya.Â
Gagasan itu merupakan kritik terhadap status quo, yaitu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Gagasan ini dikemas dengan slogan sederhana dan fokus pada isu kesejahteraan pragmatis rakyat kecil.Â
Beberapa program yang ditawarkan mirip dengan kebijakan capres Anies ketika menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Populisme Anies juga menantang program pemerintahan Jokowi, seperti hilirisasi nikel, proyek IKN, dan kereta cepat.
Berbagai tawaran kebijakan atau program itu dilakukan guna menarik simpati mayoritas pemilih lewat janji manis khas politikus populis (Crouch, 2022).Â
Populisme
Bagi Mietzner (2021), populisme Anies Baswedan dapat dikategorikan ke dalam populis Muslim klasik. Dalam konteks Indonesia, populisme ini dianggap mengedepankan pentingnya popularitas.Â
Anies sangat pandai memanfaatkan isu-isu agama dan sentimen mayoritas untuk meraih dukungan suara pemilih muslim yang sangat besar di Indonesia. Untuk tujuan itu, Anies didukung kelompok Islam radikal dan organisasi keagamaan garis keras yang selama ini menjadi basis massa besar baginya.Â
Kecenderungan itu telah menuai skeptisme dari banyak kalangan. Anies dianggap merupakan representasi elite politik Indonesia yang mencerminkan akomodasi dan memberi konsesi pada kelompok agama garis keras untuk tujuan politis semata.
Pendekatan akomodatif Anies pada kelompok radikal ini dikhawatirkan makin menguat dan tak bisa dikontrol jika benar-benar terpilih kelak. Apalagi dengan riwayat penanganan aksi intoleransi kelompok ini saat Anies menjadi Gubernur DKI beberapa tahun lalu.Â
Ada kekawatiran bahwa kecenderungan populisme identitas agama dan kelas yang dimainkan Anies berpotensi melahirkan politik balas dendam dan intoleransi di masyarakat plural Indonesia.Â
Selain itu, Aspinall (2020) melihat pendekatan patronase dan transaksional yang dibangun Anies dengan organisasi keagamaan konservatif makin mempersempit ruang demokrasi deliberatif dan mengancam keberagaman suara di Indonesia.
Anies dan Jokowi
Jika dicermati lebih seksama, populisme Anies ternyata mirip dengan Jokowi ketika menjadi capres pada 2014.Â
Mereka berdua mengedepankan tagline, janji, dan agenda yang sifatnya 'perubahan' , seperti Jokowi-JK dulu dengan Jalan Perubahan dan sekarang giliran Anies dengan Arah Baru Perubahan.
Anies dan Jokowi sama-sama mencoba memanfaatkan formulasi retorika yang bersahaja, slogan yang sederhana dan mudah diingat, mengunjungi  berbagai daerah di Indonesia demi meraih simpati publik.
Baik Jokowi 2014 dan Anies 2024 merupakan sosok politisi pendatang baru non-elitis yang berusaha mengusung visi anti-status quo. Meski latar belakang kemunculan politik mereka tidak sepenuhnya identik.
Namun demikian, beberapa persamaan di atas tidak bisa diartikan bahwa populisme ala Anies  sepenuhnya mengikuti jejak sukses Jokowi.  Ada beberapa faktor yang perku diperhatikan. Faktor-faktor itu meliputi, misaknya, basis politik, koalisi partai, dan situasi sosial-politik pilpres 2024 sudah sangat berbeda ketimbang 2014.Â
Kenyataan di atas dapat  mengindikasikan bahwa tingkat kesuksesan populisme Anies bisa jadi akan sangat kontras dengan Jokowi di periode lalu itu.
Tantangan
Gaya populisme Anies tampaknya berisiko meredukai demokrasi inklusif di Indonesia demi kepentingan politik jangka pendeknya.
Maka peran pengawasan dari civil society dan institusi demokrasi menjadi penentu agar populisme Islam ala Anies tidak melahirkan gejala interupsi demokrasi dan intoleransi di Indonesia ke depannya.
Anies memang piawai memanfaatkan isu-isu aktual yang dekat dengan kehidupan warga negara dengan cara pengemasan emosional, menjanjikan beragam solusi instan menggiurkan meski tak selalu realistis, hingga membangun citra antagonistik terhadap rezim yang berkuasa.
Pada dua debat pertama capres, Anies tampak sangat ngotot menyerang Prabowo. Melalui narasi orang kaya-miskin, penguasa-rakyat, serta berbagai isu politik, Anies kentara sekali memojokkan Prabowo.Â
Meski begitu, populisme Anies dengan mengusung gagasan 'perubahan' memang lebih leluasa menciptakan branding melawan pemerintah ketimbang capres Ganjar Pranowo.Â
Sementara itu, Ganjar baru menemukan positioning-nya melawan dan mengkritik pemerintahan Jokowi setelah cawapres-nya mengundurkan diri dari Kabinet pemerintahan Jokowi.
Pada beberapa kesempatan, populisme Anies tampaknya lebih menarik reaksi publik. Terbukti elektabilitas Anies di beberapa survei tampak menunjukkan trend meningkat. Sebaliknya, populisme tampaknya belum menunjukkan hasil memuaskan.
Seperti dua capres lainnya, strategi populisme ini berpotensi ampuh meningkatkan elektabilitas dan merangkul suara masyarakat menjelang hari pencoblosan.Â
Yang paling penting, ketiga capres akan memperoleh pembuktian terhadap populisme mereka ketika rakyat menentukan pilihannya pada pilpres 14 Februari 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H