Pemilihan presiden (pilpres) 2024 menegaskan bahwa proses pelembagaan demokrasi di Indonesia sejak 1998 telah berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan bersama. Stabilitas politik dan kondisi ekonomi menjelang pilpres 2024 juga memberikan dukungan struktural bagi berjalannya demokrasi di negeri ini.
Demokratisasi ini merupakan proses panjang reformasi politik sejak 1998. Reformasi politik di Indonesia telah membawa banyak perubahan positif bagi kehidupan demokrasi.
Meskipun tantangan besar masih ada, Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum yang kompetitif dan inklusif setiap lima tahun sekali. Ketentuan pemilihan presiden bahkan telah membatasi masa jabatan seorang presiden selama maksimal 10 tahun atau dua kali masa jabatan.
Perkembangan politik itu merupakan prestasi luar biasa, jika dibandingkan dengan masa Orde Baru yang hanya mengadakan pemilu semu. Pemilihan kepala daerah juga mulai diadakan secara langsung sejak 2005.
Partisipasi publik dalam proses-proses politik meningkat secara signifikan. Hampir tidak ada lagi pembatasan partisipasi publik dalam demokratisasi Indonesia paska-1998.
Selain itu, institusi-institusi penting yang mendukung demokrasi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi juga didirikan. KPK menjadi kekuatan besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Banyak pejabat tinggi yang dituntut atas kasus korupsi yang merugikan negara. Mahkamah Konstitusi juga berperan besar dalam penguatan sistem hukum dan demokrasi, termasuk dalam menyelesaikan berbagai sengketa hasil pemilu.
Kontroversi
Meskipun ada sejumlah kemajuan, kontroversi pada praktik-praktik politik elite yang merugikan demokrasi masih terus muncul. Misalnya, upaya pelemahan KPK melalui perubahan UU yang mengurangi kewenangannya pada 2019.
Banyak yang menilai kontroversi itu dilatarbelakangi kepentingan politik penguasa untuk memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Posisi KPK sebagai institusi perlawanan dan pengawas pemerintah menjadi pudar.
Praktik politik uang, manipulasi identitas politik berbasis agama, dan kampanye hitam juga masih kerap terjadi dalam setiap musim pemilu.
Hal ini semakin memperburuk kondisi polarisasi sosial politik di masyarakat. Beberapa survei menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap partai politik dan pejabat negara masih rendah meskipun reformasi berjalan lebih dari dua dekade.
Di tingkat lokal, praktik pilkada yang masih diwarnai politik dinasti, money politics, dan pemekaran daerah semu juga masih jadi masalah serius. Kepentingan oligarki dan dinasti politik masih sangat kuat dalam struktur politik dan ekonomi Indonesia. Perkembangan itu membahayakan prinsip persamaan dalam politik dan pemerintahan.
Seorang Indonesianist, Jacqui Baker (2023), menulis paper berjudul "Reformasi Reversal: Structural Drivers of Democratic Decline In Jokowi’s Middle-Income Indonesia" di jurnal ternama Bulletin of Indonesian Economic Studies mengenai penyempitan ruang kontestasi politik di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.
Baker merujuk pada beberapa poin utama
1. Strategi akomodasi, kooptasi, tantangan hukum, represi dan paksaan semakin digunakan oleh koalisi penguasa untuk membatasi prospek kontestasi politik terbuka. Ini termasuk upaya kriminalisasi lawan politik dan sekutu potensial.
2. Perang melawan korupsi telah berakhir. KPK dan kejaksaan sekarang dimanfaatkan untuk mempengaruhi pembentukan koalisi partai menjelang Pemilu 2024.
3. Aktivisme peradilan melemah karena campur tangan politik yang berkelanjutan dalam keanggotaan Mahkamah Konstitusi.
4. Terjadi re-sentralisasi politik, dengan pemerintah pusat menarik kembali sejumlah kekuasaan fiskal dan politik dari daerah.
5. Gerakan protes nasional gagal bangkit kembali untuk membela demokrasi dari serangan elit penguasa. Kelompok oposisi dan protes kehabisan daya sebagai kekuatan politik yang signifikan.
Secara keseluruhan, Baker beranggapan bahwa ruang kontestasi politik di Indonesia menyempit dan banyak pencapaian utama gerakan reformasi mengalami hambatan. Perkembangan itu mencerminkan konsolidasi koalisi partai-partai politik penguasa di bawah kendali Presiden Jokowi.
Hadiz (2020) menambahkan soal dominasi oligarki dan elite politik lama secara tidak proporsional di parlemen. Mereka dianggap kerap menggunakan politik identitas dan uang untuk mempertahankan kekuasaan.
Bahkan perkembangan politik menuju pemilihan presiden (pilpres) 2024 mengentalkan perilaku politik Jokowi yang mencederai demokrasi. Kritik sivitas akademik di berbagai kampus pada akhir-akhir ini menegaskan bahwa demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Perkembangan positif
Meski penuh kontroversi, secara umum proses demokratisasi di Indonesia masih terus berkembang ke arah yang positif. Partisipasi publik semakin tinggi, kebebasan pers dan berekspresi secara luas dinikmati, pemilihan langsung telah mengakar dalam budaya politik.
Menurut Aspinall (2022), "Indonesia telah berhasil mengkonsolidasikan demokrasi elektoralnya. Pemilu yang inklusif dan kompetitif di tingkat nasional dan lokal kini menjadi hal yang lumrah. Partisipasi pemilih juga sangat tinggi, mencerminkan tingkat keterlibatan politik rakyat yang sehat."
Tantangannya adalah meningkatkan kualitas dan integritas para politisi dan pejabat publik yang terpilih. Selain itu, pendidikan politik kepada pemilih juga perlu dilakukan agar masyarakat berpartisipasi politik secara rasional.
Salah satu faktor kunci yang mendukung hal ini adalah berkembangnya kelas menengah Indonesia, dengan harapan peningkatan standar hidup, layanan publik yang lebih baik, dan pemerintahan yang bersih.
Waburton (2023) mengakui bahwa "Kebebasan pers di Indonesia pasca-reformasi 1998 secara substansial telah mekar. Pers independen dan investigatif berperan mengkritisi penguasa dan oligarki tanpa takut sensor ataupun intimidasi fisik seperti di masa lampau."
Jika aspirasi kelas menengah ini bisa diakomodasi secara maksimal lewat kebijakan pro-rakyat, maka tekanan terhadap para elite politik korup dan status quo akan semakin besar. Secara keseluruhan, meski penuh pasang surut, reformasi di Indonesia patut dirayakan sebagai tonggak kemajuan.
Namun, perlu diingat bahwa demokrasi bukanlah tujuan final semata, melainkan sebuah proses panjang dengan banyak tantangan. Semangat kritis, aspirasi bagi nilai-nilai substantif demokrasi ---seperti keadilan dan persamaan, serta keterlibatan warga negara yang konstruktif--- tetap menjadi kunci agar roda reformasi terus berputar ke depan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H