Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Liberalisasi Ekonomi Orde Baru: Capaian dan Masalahnya

5 Februari 2024   00:47 Diperbarui: 5 Februari 2024   00:47 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Debat calon presiden (capres) ketiga telah selesai, namun masih meninggalkan pertanyaan besar mengenai bagaimana ketiga capres menggagas perekonomian atau sistem ekonomi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Pertanyaan ini tampaknya mudah dijawab, namun bakal sulit dijalankan. 

Apalagi gelombang liberalisasi pada saat ini seolah tidak bisa dibendung oleh berbagai negara. Sistem ekonomi liberal telah menjadi solusi satu-satunya bagi pembangunan ekonomi di sebuah negara. 

Ketika pelaksanaan liberalisasi ekonomi di sebuah negara tidak sesuai dengan praktek di berbagai negara-negara Barat, maka negara itu seperti 'dihukum' melalui krisis ekonomi. seperti yang dialami oleh pemerintahan Suharto. 

Melalui tulisan ini, praktek liberalisasi ekonomi diulas dengan melihat asal-usul, perkembangan, kebijakan-kebijakan ekonomi liberal, dan salah kelola ekonomi yang berujung di krisis ekonomi 1997 dan perubahan politik 1998.

Rezim Orde Baru di bawah komando Presiden Suharto menuju liberalisasi ekonomi pasca 1966, setelah Indonesia mengalami krisis parah akibat kegagalan model ekonomi sosialis Orde Lama. Menurut Pauker (1969), krisis hiperinflasi dan stagnasi sektor industri memaksa Suharto menempuh pendekatan pragmatis dengan membuka pintu bagi investasi asing.

Perkembangan awal

Liberalisasi ekonomi pada masa Orde Baru tidak terlepas dari warisan krisis ekonomi parah pada akhir pemerintahan Soekarno. Inflasi tak terkendali di atas 500% serta stagflasi sektor industri memaksa Suharto mencari solusi alternatif dengan orientasi pasar yang lebih pragmatis.

Pada awalnya, pemerintah melanjutkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang ditinggalkan pengelola kolonial pasca kemerdekaan. Namun Bresnan (1993) mencatat, "kepemilikan negara ini kemudian menjadi basis bagi ekspansi konglomerat-konglomerat besar milik pengusaha etnis Tionghoa yang dekat dengan Suharto selama 1970-1980an." 

Meskipun begitu, krisis ekonomi parah pada akhir pemerintahan Soekarno telah memaksa pemerintahan baru mencari solusi alternatif. Salah satu solusinya adalah menarik investasi asing untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan ekspor.

Selain itu, MacIntyre (1991) mencatat bahwa rezim Orde Baru memberikan insentif investasi yang selektif dan diskriminatif untuk mendukung para kroni. Kebijakan semacam ini menjadi salah satu faktor pendukung berkembangnya konglomerat di masa pemerintahan Presiden Suharto.

MacIntyre bahkan menjelaskan asal mula munculnya bisnis keluarga Suharto dan kroninya. Anggota keluarga Suharto dan pengusaha klien menerima perlakuan istimewa dari pemerintah Orde Baru sebagai imbalan atas kesetiaan pribadi dan dukungan politik. Perlakuan ini mencakup insentif, lisensi, kontrak, dan kredit (MacIntyre, 1994).

Di sisi lain, keterbukaan hati-hati Suharto terhadap modal asing membuahkan hasil pertumbuhan ekonomi yang impresif rata-rata 7% per tahun selama lebih 30 tahun, walaupun negara tetap menjaga peran besar dalam perekonomian (Temple, 2001). Menurut Hill (1996), kebijakan subsidi dan proteksi yang selektif mendorong laju industrialisasi dalam negeri. 

Kebijakan ekonomi liberal

Beberapa kebijakan ekonomi liberal utama yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Suharto, antara lain:

1. Deregulasi sektor perbankan dan jasa keuangan pada tahun 1983 yang melonggarkan persyaratan pendirian bank dan bunga kredit. Tujuannya untuk menarik lebih banyak investasi asing ke sektor keuangan.

2. Memberikan insentif fiskal seperti tax holiday dan pembebasan bea masuk untuk investor di sektor industri manufaktur terutama di bidang elektronik dan tekstil pada 1980an. 

3. Mengurangi sejumlah pembatasan penanaman modal asing (PMA) langsung di sektor pertambangan, perkebunan dan infrastruktur melalui UU Penanaman Modal Asing tahun 1967.

4. Bergabung dalam World Trade Organization (WTO) tahun 1994 yang memaksa Indonesia menurunkan tarif dan halangan impor secara bertahap terutama di sektor otomotif dan pertanian.

5. Privatisasi sejumlah BUMN non-strategis seperti hotel, pariwisata dan perbankan mulai tahun 1992 untuk menarik investasi swasta.

6. Deregulasi sektor minyak dan gas bumi pada 2002 yang memungkinkan perusahaan swasta/asing mengelola kegiatan hulu migas di Indonesia.

Kebijakan-kebijakan ini bertujuan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi investasi domestik dan asing pada masa Orde Baru.

Puncak liberalisasi tercipta tatkala Indonesia akhirnya resmi bergabung dengan WTO pada 1994 yang memaksa pemangkasan proteksi di pasar barang dan jasa domestik.

Selain itu, Indonesia pada  masa Presiden Suharto telah mencapai  industrialisasi melalui peningkatan sektor manufaktur dan jasa, meningkatnya ekspor non-migas, dan berkembangnya sektor pariwisata serta infrastruktur.

Masalah KKN

Namun seiring waktu, inefisiensi dan korupsi kian menumpuk. Defisit neraca pembayaran karena tingginya utang luar negeri di sektor swasta juga mengungkap mismanajemen keuangan. 

Masalah lainnya adalah dominasi konglomerat yang dekat dengan penguasa yang berujung pada masalah KKN. Robison dan Hadiz (2004) mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi Orde Baru yang stabil dan meningkat membuat para kapitalis kroni yang memiliki hubungan dengan Suharto diberi hak istimewa untuk masuk ke sektor-sektor ekonomi penting.

Liberalisasi ekonomi era Orde Baru dinilai mengandung banyak kepentingan politik dan bisnis penguasa, bukan murni untuk optimalisasi kesejahteraan dan efisiensi ekonomi. Akibatnya, Indonesia mengalami krisis keuangan 1997-1998 yang memaksa Jakarta membuka pintu lebar-lebar bagi liberalisasi perdagangan dan investasi global.

Secara keseluruhan, Orde Baru berjalan di tali yang tipis antara kapitalisme kroni versus pasar yang lebih terbuka. Suharto berupaya menyeimbangkan berbagai kepentingan dengan hasil optimalisasi pembangunan ekonomi, meski tidak sepenuhnya berhasil mengatasi warisan persoalan struktural dari rezim sebelumnya.  

Terkait dengan sistem ekonomi Indonesia 2024-2029, Indonesia mau tidak mau harus tetap menjalankan ekonomi liberal, namun dengan tetap meningkatkan kemampuan ekonomi domestik memperoleh keuntungan terbesar. Keberanian pemerintahan baru dalam inovasi kebijakan agar tidak semata membuka ekonomi domestik tetap perlu menjadi perhatian utama.

Kebijakan semacam hilirisasi berbagai sektor, seperti sumber daya alam, memang menarik dan berpotensi meningkatkan daya tawar ekonomi domestik. Meskipun demikian potensi resiko dari kebijakan itu tetap harus diantisipasi oleh pemerintahan baru setelah Presiden Joko Widodo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun