MacIntyre bahkan menjelaskan asal mula munculnya bisnis keluarga Suharto dan kroninya. Anggota keluarga Suharto dan pengusaha klien menerima perlakuan istimewa dari pemerintah Orde Baru sebagai imbalan atas kesetiaan pribadi dan dukungan politik. Perlakuan ini mencakup insentif, lisensi, kontrak, dan kredit (MacIntyre, 1994).
Di sisi lain, keterbukaan hati-hati Suharto terhadap modal asing membuahkan hasil pertumbuhan ekonomi yang impresif rata-rata 7% per tahun selama lebih 30 tahun, walaupun negara tetap menjaga peran besar dalam perekonomian (Temple, 2001). Menurut Hill (1996), kebijakan subsidi dan proteksi yang selektif mendorong laju industrialisasi dalam negeri.Â
Kebijakan ekonomi liberal
Beberapa kebijakan ekonomi liberal utama yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Suharto, antara lain:
1. Deregulasi sektor perbankan dan jasa keuangan pada tahun 1983 yang melonggarkan persyaratan pendirian bank dan bunga kredit. Tujuannya untuk menarik lebih banyak investasi asing ke sektor keuangan.
2. Memberikan insentif fiskal seperti tax holiday dan pembebasan bea masuk untuk investor di sektor industri manufaktur terutama di bidang elektronik dan tekstil pada 1980an.Â
3. Mengurangi sejumlah pembatasan penanaman modal asing (PMA) langsung di sektor pertambangan, perkebunan dan infrastruktur melalui UU Penanaman Modal Asing tahun 1967.
4. Bergabung dalam World Trade Organization (WTO) tahun 1994 yang memaksa Indonesia menurunkan tarif dan halangan impor secara bertahap terutama di sektor otomotif dan pertanian.
5. Privatisasi sejumlah BUMN non-strategis seperti hotel, pariwisata dan perbankan mulai tahun 1992 untuk menarik investasi swasta.
6. Deregulasi sektor minyak dan gas bumi pada 2002 yang memungkinkan perusahaan swasta/asing mengelola kegiatan hulu migas di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan ini bertujuan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi investasi domestik dan asing pada masa Orde Baru.