Dalam beberapa tahun terakhir, topik mengenai pengaruh populisme terhadap kebijakan luar negeri suatu negara menjadi perdebatan menarik. Kemunculan sejumlah pemimpin dengan gaya populis di berbagai negara mendorong para ahli untuk menganalisis dampaknya terhadap cara pandang dan keputusan politik luar negeri negara tersebut.Â
Beberapa pemimpin populis global yang kerap diangkat dalam kajian ini, antara lain, Donald Trump di Amerika Serikat, Rodrigo Duterte di Filipina, Narendra Modi di India, serta Jair Bolsonaro di Brasil.
Di Indonesia, wacana serupa pun marak berkembang terkait dugaan pengaruh populisme terhadap kebijakan luar negeri di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi).Â
Sejak terpilih sebagai presiden pada 2014 silam, gaya kepemimpinan Jokowi yang dianggap populis oleh sejumlah kalangan kerap dikritik turut membentuk cara pandang dan penekanan isu-isu tertentu dalam politik luar negeri Indonesia.
Tulisan ini akan mendiskusikan lebih jauh dugaan pengaruh populisme Jokowi tersebut terhadap diplomasi Indonesia selama dua periode kepresidenannya.Â
Analisis difokuskan pada sejauh mana watak populis Jokowi diyakini telah memengaruhi perumusan strategi besar kebijakan luar negeri, penentuan prioritas isu, hingga gaya diplomasi Indonesia di kancah regional dan global.
Kebijakan Luar Negeri Populis
Pengaruh populisme terhadap diplomasi dan kebijakan luar negeri suatu negara merupakan kajian menarik dalam studi Hubungan Internasional kontemporer. Sejumlah penelitian berupaya menganalisis bagaimana ideologi dan gaya kepemimpinan populis seorang pemimpin berdampak terhadap politik luar negeri yang dijalankan.
Menurut McMahon & Baker (2019), populisme cenderung mendorong negara menjalankan kebijakan luar negeri yang lebih unilateral, protectionist, serta mengutamakan kepentingan nasional sempit.Â
Populisme juga membuat diplomasi bilateral menjadi kurang kooperatif karena obsesi pemimpin populis terhadap capaian spektakuler demi kepentingan domestik jangka pendek (Rathbun, 2020).