Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Diplomasi Indonesia Menerapkan Carbon Capture and Storage

27 Januari 2024   14:50 Diperbarui: 29 Januari 2024   01:45 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Publik pemilih presiden 2024 di Indonesia tidak akan lupa dengan ulah Gibran Rakabuming Raka di debat pertama calon wakil presiden (cawapres). Pada debat pertama, ulah Gibran ditujukan ke cawapres Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dengan pertanyaan soal the State of Global Islamic Economy (SGIE). 

Seolah ingin menyeimbangkan serangan, Gibran juga meminta pandangan cawapres Mahfud Md mengenai carbon capture and storage (CCS). Kedua istilah itu segera disambut dengan sorak-sorai dukungan dan kutukan kepada Gibran.

Tulisan ini bukan merupakan wujud dukungan, apalagi sebuah kutukan. Sebaliknya, tulisan ini mencoba belajar lebih jauh mengenai CCS itu dari sudut pandang studi Hubungan Internasional.

Dengan kacamata itu, tulisan ini juga melihat strategi nasional Indonesia untuk merespon isu CCS itu. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan, atau lebih tepatnya insight, tentang bagaimana isu internasional ini harus diantisipasi untuk meminimalkan resiko di masa depan, khususnya dalam jangka waktu 5 tahun ke depan di bawah pemerintahan baru.

Sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia memiliki komitmen yang kuat terhadap berbagai international regime untuk penanganan emisi karbon dan perubahan iklim global. Salah satu teknologi penting yang kini ramai dibahas adalah carbon capture and storage (CCS).

CCS berkaitan dengan upaya penangkapan karbondioksida dari kegiatan industri sebelum dilepas ke atmosfer, untuk kemudian disimpan di bawah tanah atau lautan secara permanen.

sumber: tanahair.net
sumber: tanahair.net

Aturan internasional 
Menurut pakar hubungan internasional, seperti Stephen Krasner, international regime merupakan serangkaian norma, aturan, dan prosedur yang mengatur berbagai isu dalam hubungan internasional. 

CCS bisa dikatakan telah menjadi bagian dari regime solusi perubahan iklim global. Oleh sebab itu, ratifikasi dan penerapan CCS di tingkat nasional merupakan bentuk kontribusi konkret Indonesia pada regime internasional tersebut.

Selain itu, penerapan teknologi carbon capture and storage (CCS) oleh Indonesia merupakan elemen integral dalam diplomasi dan strategi negara ini memenuhi komitmen internasionalnya di bidang iklim (Amalia, 2021). Pakar HI, Rebecca Adler-Nissen (2014), menjelaskan “compliance adalah dasar berfungsinya tata kelola global.

Ketika negara memenuhi aturan, norma, dan standar internasional, ini memperkuat koherensi dunia sebagai satu tatanan." Penerapan CCS, walaupun mahal dan teknis, bagi Indonesia adalah perwujudan "compliance" terhadap aturan main penurunan emisi global.

Indonesia sejauh ini telah menunjukkan komitmen terhadap berbagai kesepakatan multilateral terkait perubahan iklim, di antaranya Paris Agreement dan penurunan emisi karbon secara bertahap.

Konstelasi internasional
Namun demikian, CCS juga mengundang berbagai persaingan geopolitik global. Seperti disebut Fareed Zakaria (2009), implementasi teknologi di satu negara memiliki dampak sistemik pada rantai pasok, standar, dan insentif ekonomi global. Indonesia punya tantangan domestik untuk mengadopsi dan mengintegrasikan CCS ke dalam dinamika geopolitik internasional.

Melalui berbagai forum kerja sama bilateral dan multilateral seperti KTT G20 dan Konferensi Iklim PBB, diplomasi Indonesia konsisten menyerukan skema pendanaan dan transfer teknologi CCS yang adil, dari negara maju ke negara berkembang (Rachman, 2017). Kerja sama yang saling menguntungkan (win-win solutions) menjadi prinsip Indonesia.

Skema CCS, misalnya, bertujuan untuk peningkatan perolehan minyak (CCS-EOR) dengan perusahaan asing atau standarisasi prosedur monitoring CO2 regional agar dapat terintegrasi ke kredit karbon global. 

Kemitraan yang strategis dan saling menguntungkan (strategic-win win partnerships) juga disebut Mittleman (2002) sebagai kunci diplomasi kepatuhan internasional yang efektif bagi negara berkembang.

Melalui pendekatan bijak ini, kemitraan teknis dan pendanaan dari sejumlah negara dan lembaga donor dapat diraih, seperti untuk survei potensi geologis dari Jepang dan Bank Dunia serta studi kelayakan penerapan CCS pada sektor batu bara dan semen dengan Australia (Mangkusuwondo dan Sulistianto, 2022).

Dengan berpijak pada prinsip dan kearifan lokal, diplomasi Indonesia juga menitikberatkan pada pembangunan kapasitas domestik yang andal. Seperti dikatakan Wendt & Duvall (1989), kepatuhan pada norma dan aturan global memerlukan institusi dan aktor lokal yang kuat dan efektif.

Lewat Kementerian ESDM dan badan riset BRIN, potensi penerapan CCS di destinasi kunci seperti ladang lepas pantai, tambang batu bara, dan kompleks industri diteliti. Standar operasional prosedur CCS serta rencana pengembangan sumber daya manusia dan kelembagaannya juga tengah disusun Kementerian ESDM RI.

Diplomasi Indonesia
Diplomasi Indonesia telah merespons dinamika geopolitik dan konstelasi internasional seputar isu carbon capture and storage (CCS) dengan beberapa pendekatan.

Pertama, Indonesia mendorong negara maju untuk memenuhi komitmen pendanaan teknologi rendah karbon termasuk CCS ke negara berkembang sebagai bentuk tanggung jawab historis atas emisi.

Diplomasi kedua Indonesia juga dilakukan untuk menjalin kerja sama bilateral dan multilateral untuk pengembangan kapasitas dan alih teknologi CCS yang sesuai dengan kebutuhan domestik, seperti dengan Jepang, Australia, Uni Eropa dan Bank Dunia.

Berbeda dengan diplomasi hard power yang bersifat memaksa, Indonesia menjalankan diplomasi ketiga, yaitu menggunakan pendekatan soft power. Perhatian Indonesia lebih pada skema kerja sama yang saling menguntungkan (win-win cooperation), misalnya pengembangan CCS untuk peningkatan capaian perolehan minyak (CCS-EOR).

Lebih lanjut, berbagai usaha Indonesia diarahkan untuk menjembatani kepentingan negara Selatan dan Utara. Cara itu diyakini efektif untuk mendorong agar CCS tidak menghalangi transisi sepenuhnya ke energi terbarukan tetapi sebatas mempercepat dekarbonisasi industri sulit diubah.

Aktivisme diplomasi Indonesia juga berjalan di forum-forum kerja sama internasional terkait CCS seperti Carbon Sequestration Leadership Forum (CSLF). Salah satu kepentingan Indonesia adalah turut aktif mengembangkan standarisasi dan skema insentif implementasi CCS yang adil dan berimbang.

Secara umum, diplomasi iklim Indonesia berupaya memaksimalkan manfaat nasional dari tren global dekarbonisasi termasuk lewat dorongan implementasi CCS dengan skema investasi, regulasi dan insentif yang menguntungkan

Implementasi di tingkat domestik
Namun, sebagaimana ditegaskan pakar lainnya seperti Andreas Hasenclever, international regime hanya bisa efektif jika diikuti dengan implementasi kebijakan riil di tingkat domestik yang selaras dengan norma dan aturan global.

Oleh karena itu, untuk memperkuat komitmennya, Indonesia perlu segera menerapkan CCS sebagai bagian integral dari kebijakan energi dan iklim nasional. Melalui kerja sama dengan sektor swasta dan lembaga riset, pemerintah bisa segera membangun pilot project CCS di beberapa pabrik dan lahan terpilih untuk menguji coba teknologi ini.

Dukungan pakar dan institusi finansial global seperti Bank Dunia juga diperlukan untuk memastikan transfer teknologi CCS yang efektif dan terjangkau ke Indonesia. 

Mengingat mahal dan kompleksnya penerapan CCS dalam skala besar, dukungan global mutlak diperlukan agar Indonesia bisa ikut andil dalam upaya penyimpanan karbon dunia, sembari terus meningkatkan kesejahteraan.

Selain itu, kesiapan infrastruktur transportasi dan penyimpanan karbon juga perlu disiapkan. Seperti disebut pakar Peter Mayer, efektivitas sebuah international regime sangat ditentukan kapasitas dan komitmen domestik negara pesertanya.

Jika Indonesia ingin tampil sebagai kontributor serius terhadap rezim dekarbonisasi global, maka berbagai regulasi, insentif produksi bersih, serta dukungan riset untuk CCS harus dirintis sejak dini. Indonesia diperkirakan bisa menyimpan ratusan juta ton CO2 per tahun di ladang gas dan batu baranya yang sudah tidak aktif.

Dengan berkordinasi dengan banyak pemangku kepentingan, CCS bisa menjadi pengungkit transisi energi bersih yang adil dan inklusif di Indonesia, demi tercapainya komitmen global menjaga pemanasan planet tidak melebihi 1,5 derajat Celcius.

Komitmen Indonesia pada rezim dan kesepakatan internasional terkait iklim global harus diwujudkan lewat implementasi kebijakan konkret penurunan emisi. Penerapan teknologi CCS dengan dukungan sektor swasta dan lembaga keuangan global adalah keniscayaan.

Dengan kapasitas domestik yang memadai, CCS dapat menjadi andalan Indonesia berkontribusi pada upaya mitigasi emisi global dan menjaga komitmennya pada berbagai international regime terkait perubahan iklim.

Lewat strategi jangka panjang pada sektor industrialisasi rendah karbon dan diplomasi multilateral yang bijak, Indonesia diharapkan dapat memenuhi aturan main rezim iklim global, sembari tetap memaksimalkan capaian perolehan minyak, kemandirian teknologi, dan keadilan iklim bagi masyarakat.

Dengan mematuhi dan berkontribusi aktif pada berbagai inisiatif dekarbonisasi global termasuk CCS, pemerintahan baru yang mulai memerintah pada 20 Oktober 2024 memberikan perhatian dan prioritas kebijakan mengenai CCS ini. Dengan cara itu, Indonesia diharapkan dapat terus memperkuat posisi tawarnya dalam percaturan geopolitik iklim dunia menjelang 2050.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun