Dua kali debat calon wakil presiden (cawapres) tampaknya lebih menarik, semarak, dan memancing kontroversi ketimbang debat capres. Salah satu faktor daya tarik debat cawapres adalah kehadiran Gibran Rakabuming Raka.
Sebagai cawapres termuda yang berpasangan dengan capres Prabowo Subianto, Gibran menawarkan banyak hal tidak terduga, baik bagi kawan maupun lawan. Muncul sebagai cawapres yang tidak diperhitungkan, disepelekan, dan, bahkan, menjadi bahan gurauan politik dengan nama 'samsul' atau 'belimbing sayur.'
Namun begitu, debat cawapres pertama meninggalkan kesan mengagetkan. Bagi kawan, penampilan Gibran ternyata bisa mengimbangi cawapres Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Mahfud Md. Yang paling menarik adalah muncul singkatan SGIE (The State of Global Islamic Economy) yang ditanyakan Gibran ke Cak Imin.
Celetukan dengan kawan di angkringan memotret bahwa luasnya pengetahuan dan pengalaman cawapres nomer 1 dan 3 itu biasa, sehingga bukan luar biasa. Namun melihat Gibran bisa berbicara lama dengan konsep-konsep detil malah mengundang decak kagum para pengagumnya.
Sama dengan kontroversi singkatan SGIE pada debat pertama, Gibran menanyakan istilah greenflation ke cawapres Mahfud Md. Riuh-rendah berisi pujian bercampur kritik pun diarahkan ke Gibran.
Dalam hubungan internasional, isu greenflation semakin mengemuka berkaitan dengan diskursus geopolitik dan geoeconomics global. Greenflation biasanya didefinisikan sebagai kenaikan harga material dan energi. Lonjakan harga itu akibat tingginya permintaan di tengah transisi ke sumber energi terbarukan (renewable energy) oleh sejumlah negara maju.
Beberapa pakar memperingatkan, fenomena ini berpotensi menggagalkan transisi energi dunia dan lebih merugikan negara miskin jika tak segera ditangani. Seperti dinyatakan Daniel Yergin, pakar geopolitic energi ternama, “Spiral greenflation yang makin tidak terkendali akan menghantam ambisi bersih negara berkembang dan malah menciptakan krisis baru di masa transisi ini” (Yergin, 2023).
Memang, banyak faktor yang mendorong negara-negara seperti AS, China, dan kawasan Uni Eropa untuk secepatnya beralih dari bahan bakar fosil ke sumber terbarukan. Mulai dari tekanan atas perubahan iklim, hingga keinginan melepaskan ketergantungan impor migas serta merebut dominasi teknologi dan rantai pasok energi hijau di masa depan.
Namun di sisi lain, kecenderungan berlebihan itu berisiko memacu lonjakan harga bahan-bahan vital transisi energi seperti batu baterai, panel surya, hingga turbin angin. Apalagi pasokan global untuk komponen hijau masih terbatas.
Fenomena inilah yang kini menjelma menjadi badai greenflation dunia. Menurut Fatih Birol, kepala Badan Energi Internasional, “Kenaikan harga material renewable energy mencapai 50% dalam setahun terakhir. Jika tak ditangani, harga energi bersih bisa melampaui fosil dalam waktu dekat” (Birol, 2023).
Greenflation ternyata telah menjadi bentuk energy insecurity bagi negara miskin dan berkembang karena menghambat transisi dan akses energi bersih mereka dalam jangka panjang. Ini tentu saja sangat merugikan dan tidak adil. Oleh karena itu, penanganan global yang kolaboratif antar-negara sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini
Indonesia
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah negara ini juga terancam greenflation? Beberapa pakar meyakini bahwa Indonesia sangat rentan terhadap greenflation atau gelombang kenaikan harga energi hijau ini.
Beberapa faktor penyebabnya adalah ketergantungan terhadap produk impor yang masih besar, rendahnya kemampuan daya beli dan produksi dalam negeri, dependensi energi fosil, defisit infrastruktur energi terbarukan hingga gap energi global masih jadi kendala.
Menurut seorang pengamat geopolitik dari Green Policy Institution, Atarah Lister “Negara seperti Indonesia harus segera membangun kemandirian industri renewable energy-nya sendiri sebelum terlambat. Jika tidak, Indonesia bakal jadi korban mahalnya harga energi bersih dan terjebak fosil untuk selamanya” (Lister, 2023).
Greenflation memang berpotensi menciptakan ketidakamanan energi. Dalam konteks itu, kesiapan Indonesia perlu diwujudkan ke dalam kebijakan dan program kegiatan riil di lapangan.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus segera menyiapkan langkah-langkah strategis agar Indonesia survive dari badai greenflation. Pada saat yang sama, Indonesia juga tetap menjaga kapasitas kompetitifnya dalam memacu transisi energi nasional.
Memang ada pandangan bahwa potensi ancaman greenflation akan dialami Indonesia dalam jangka panjang. Salah satu faktornya adalah bauran energi terbaŕukan Indonesia baru mencapai 13%.
Sementara itu, Perancis ---yang dipakai Gibran sebagai contoh--- sudah mencapai hampir 80% bauran energi terbarukan. Dalam kondisi itu, ancaman greenflation memang lebih dekat ke Perancis ketimbang Indonesia.
Beberapa opsi kebijakan dapat dilakukan Indonesia, misalnya mempercepat proyek pembangkit listrik energi terbarukan dalam negeri, mengedepankan teknologi modular dan terdesentralisasi untuk menekan biaya, hingga memberikan insentif untuk pengembangan rantai pasok komponen hijau lokal.
Selain itu, pemerintah Indonesia perlu mengembangkan kerjasama setara dan adil dengan negara-negara lain dan berbagai stakeholders mengenai transisi energi.
Dengan bergerak pro-aktif dan lincah menangkap peluang di tengah pusaran kompetisi global, Indonesia dapat mengamankan transisi energinya dari ganasnya badai greenflation sambil terus mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H