Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Greenflation, Ancaman Keamanan Energi, dan Kesiapan Indonesia

24 Januari 2024   23:21 Diperbarui: 27 Januari 2024   17:47 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via KOMPAS.com

Dua kali debat calon wakil presiden (cawapres) tampaknya lebih menarik, semarak, dan memancing kontroversi ketimbang debat capres. Salah satu faktor daya tarik debat cawapres adalah kehadiran Gibran Rakabuming Raka. 

Sebagai cawapres termuda yang berpasangan dengan capres Prabowo Subianto, Gibran menawarkan banyak hal tidak terduga, baik bagi kawan maupun lawan. Muncul sebagai cawapres yang tidak diperhitungkan, disepelekan, dan, bahkan, menjadi bahan gurauan politik dengan nama 'samsul' atau 'belimbing sayur.'

Namun begitu, debat cawapres pertama meninggalkan kesan mengagetkan. Bagi kawan, penampilan Gibran ternyata bisa mengimbangi cawapres Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Mahfud Md. Yang paling menarik adalah muncul singkatan SGIE (The State of Global Islamic Economy) yang ditanyakan Gibran ke Cak Imin. 

Celetukan dengan kawan di angkringan memotret bahwa luasnya pengetahuan dan pengalaman cawapres nomer 1 dan 3 itu biasa, sehingga bukan luar biasa. Namun melihat Gibran bisa berbicara lama dengan konsep-konsep detil malah mengundang decak kagum para pengagumnya.

Sama dengan kontroversi singkatan SGIE pada debat pertama, Gibran menanyakan istilah greenflation ke cawapres Mahfud Md. Riuh-rendah berisi pujian bercampur kritik pun diarahkan ke Gibran.

Greenflation

Dalam hubungan internasional, isu greenflation semakin mengemuka berkaitan dengan diskursus geopolitik dan geoeconomics global. Greenflation biasanya didefinisikan sebagai kenaikan harga material dan energi. Lonjakan harga itu akibat tingginya permintaan di tengah transisi ke sumber energi terbarukan (renewable energy) oleh sejumlah negara maju.

Beberapa pakar memperingatkan, fenomena ini berpotensi menggagalkan transisi energi dunia dan lebih merugikan negara miskin jika tak segera ditangani. Seperti dinyatakan Daniel Yergin, pakar geopolitic energi ternama, “Spiral greenflation yang makin tidak terkendali akan menghantam ambisi bersih negara berkembang dan malah menciptakan krisis baru di masa transisi ini” (Yergin, 2023).

Memang, banyak faktor yang mendorong negara-negara seperti AS, China, dan kawasan Uni Eropa untuk secepatnya beralih dari bahan bakar fosil ke sumber terbarukan. Mulai dari tekanan atas perubahan iklim, hingga keinginan melepaskan ketergantungan impor migas serta merebut dominasi teknologi dan rantai pasok energi hijau di masa depan.

Namun di sisi lain, kecenderungan berlebihan itu berisiko memacu lonjakan harga bahan-bahan vital transisi energi seperti batu baterai, panel surya, hingga turbin angin. Apalagi pasokan global untuk komponen hijau masih terbatas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun